Ketika banyak sekali
aliran yang mengatakan bahwa tidak mengerjakan solat itu tidak apa apa,
hal ini membuat saya selaku orang awam, mencoba untuk memberi sedikit
pendapat tentang makna solat .
Bumi dan langit ini terdiri dari 4 unsur : angin, api, air dan tanah yang diciptakan dari Nur Muhammad ( Cahaya Allah) dan bagaimanapun juga ke 4 unsur itu tidak lah kekal dan akan musnah juga.
Ketika Nur Muhammad dan ciptaanNya Musnah, maka yang ada hanyalah “ AKU”
Proses Menggulung Nur Muhammad dan 4 unsur inilah yang disebut sebagai ilmu kesaksian / perjalanan rasa menuju Tuhannya , tubuh manusia mengandung 4 unsur yaitu tanah, air, api dan udara dan juga unsur lainnya yang terdiri dari :
1. Alam Jisim / Jasmani
2. Alam Jabarut / Alam keinginan dari yang buruk sampai yang luhur.
3. Alam Malakut berwujud pikiran atau kreasi manusia
4. Alam Malakut berwujud Akal budi atau kecerdasan manusia.
5. Alam Arwah terdiri dari Jiwa dan roh roh.
6. Alam Arwah terdiri dari Nur Muhammad.
7. Allah.
Ke 7 phase atau wasilah itu harus digulung dengan menggunakan nafas kita sebagai tali penghubung dari alam satu ke alam yang lain (ali imron 103)
Seperti Rasullullah lakukan, proses penggulungan berada di dalam gerakan solat :
1. Berdiri / alif merupakan unsur angin, dan rasa berdiri harus lenyap atau digulung ketika sedang solat.
2. Ruku / ha merupakan unsur api, dan rasa ruku pun harus lenyap atau digulung.
3. Sujud / mim merupakan unsur tanah, dan rasa sujudpun harus lenyap atau digulung.
4. Duduk / atahiyat / dal merupakan unsur air, dan rasa duduk pun harus lenyap atau digulung.
Solat yang benar adalah apabila Nur Muhammad yang merupakan gabungan dari alif ha mim dan dal (ahmad) yang menjadi sumber terciptanya 4 unsur bumi langit adalah benar benar harus fana’ atau tiada atau nafi sehingga di dalam solat kita akan menemuiNYA.
Lakukanlah solat secara berulang ulang sehingga kita benar benar tidak merasakan 4 unsur diatas, seperti yang dilakukan oleh Rasullullah.
Perhatikan kalimat Tauhid “ Tiada Tuhan selain Allah” artinya tiada yang dipertuhankan seperti angin, api, tanah, air dan oksigen dll, karena DIA tidak bergantung pada unsur apapun, karena Allah ESA dan tidak ada satu pun yang menyerupaiNYA
Ketika Badan lenyap dan fana karena solat maka yang ada di dalam diri kita adalah “ AKU” (spt ayat katakan “KU tiupkan sebagian RuhKU kedalam tubuh manusia).
Setelah AKU wujud maka AKU harus berfirman atau bersuara dalam wujud kalamKU yaitu Laa illaha illallah atau Alif lam lam ha atau sebutan ALLAH.
Dan dengan Kalam ALLAH lah maka AKU ciptakan NUR MUHAMMAD dan dengan NUR MUHAMMAD lah AKU ciptakan bumi dan langit serta isinya.
Sesungguhnya yang berkata Allah hanya TUHAN itu sendiri bukan atas dasar bayangan atau pikiran manusia saja, kalimat Allah Allah bukanlah buatan dari jasad atau mulut manusia, tetapi hasil dari pada proses peleburan dalam laku solat yang benar benar khusu sehingga muncullah AKU.
Dan AKU lah yang akan berkata sendiri sesuai keinginanNYA, dan perkataan itu lah yang disebut KALAM yang berwujud energy cahaya (atau disebut sebagai Alif Lam Lam Ha / Allah yang berarti wujud atau diliputi sifat 20 atau juga dapat dikatakan sebagai NUR NYA yaitu NUR MUHAMMAD)
Yang kemudian dengan NUR MUHAMMAD ini lah akan melahirkan cahaya cahaya kecil atau disebut roh roh yang kemudian cahaya tersebut hadir di dalam akal budi manusia.
Energi Akal budi manusia tersebut kemudian diterima oleh pikiran manusia dan dengan pikiran manusia l
lah, dapat terwujud keinginan baik dan luhur dari manusia itu sendiri, sehingga dengan tercapainya keinginan maka terpenuhinya kebutuhan jasad manusia itu sendiri.
Adapun bacaan wajib solat adalah :
1. Mengucapkan takbir pada awal solat.
2. Membaca Alfatehah.
3. Membaca Solawat Nabi.
4. Mengucapkan Salam.
Takbir adalah awal dari suatu perjalanan rasa, dan kemudian menahan nafas dan mata dipejamkan, karena DIA tidak berada di dalam oksigen atau kebendaan, kemudian membaca alfatehah yang berarti pembuka atau membuka titik titik dibadan manusia, setelah itu masih dalam keadaan berdiri dan tidak ada bacaan atau hening sampai nafas dihembuskan.
Setelah nafas dihembuskan kemudian ditahan dan langsung melakukan ruku, tidak membaca apa apa hening dalam keadaan nafas ditahan, setelah nafas tidak kuat maka tarik nafas kembali kemudian ditahan.
Dan badan berdiri tegak, dalam keadaan hening setelah itu nafas dihembuskan dan ditahan kemudian sujud dalam keadaan hening dan tahan nafas yang sudah dihembuskan, kemudian tarik nafas kembali dan tahan, kemudian duduk dalam posisi hening dan menahan nafas dst.
Lakukan ritual solat menahan nafas spt rasullullah lakukan, dan lakukanlah berkali kali sampai kita merasakan perjalanan rasa dalam keadaan tiada, dan inilah yang disebut mematikan diri ketika hidup.
Coba anda bayangkan proses mi’raj dalam bentuk solat yang sangat dasyat, yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad di dalam mencapai Tuhannya. Dan apakah metode ini membuat kita menjadi sangat malas untuk kita lakukan ketika kita tahu bahwa solatlah yang membuat manusia menjadi lebur dan menemuiNYA, atau bahkan solat menjadi tidak perlu sama sekali, ketika kita menganggap bahwa metode duduk bersila merupakan metode yang baik didalam perjalanan menuju DIA.
Mari kita kembalikan semuanya kepada Dzat Yang Maha Agung yang berada di dalam diri kita sendiri, sesungguhnya segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasullullah mengandung makna yang sangat tinggi dan dalam, namun kadang kadang manusia masih dangkal di dalam menerimanya karena dipenuhi oleh ego dan lainnya, termaksud saya yang masih awam di dalam mengkaji makna solat.
Demikian pendapat saya mengenai solat, semoga menjadi masukan juga bagi orang orang awam yang sedang belajar ilmu ma’rifat.
Bumi dan langit ini terdiri dari 4 unsur : angin, api, air dan tanah yang diciptakan dari Nur Muhammad ( Cahaya Allah) dan bagaimanapun juga ke 4 unsur itu tidak lah kekal dan akan musnah juga.
Ketika Nur Muhammad dan ciptaanNya Musnah, maka yang ada hanyalah “ AKU”
Proses Menggulung Nur Muhammad dan 4 unsur inilah yang disebut sebagai ilmu kesaksian / perjalanan rasa menuju Tuhannya , tubuh manusia mengandung 4 unsur yaitu tanah, air, api dan udara dan juga unsur lainnya yang terdiri dari :
1. Alam Jisim / Jasmani
2. Alam Jabarut / Alam keinginan dari yang buruk sampai yang luhur.
3. Alam Malakut berwujud pikiran atau kreasi manusia
4. Alam Malakut berwujud Akal budi atau kecerdasan manusia.
5. Alam Arwah terdiri dari Jiwa dan roh roh.
6. Alam Arwah terdiri dari Nur Muhammad.
7. Allah.
Ke 7 phase atau wasilah itu harus digulung dengan menggunakan nafas kita sebagai tali penghubung dari alam satu ke alam yang lain (ali imron 103)
Seperti Rasullullah lakukan, proses penggulungan berada di dalam gerakan solat :
1. Berdiri / alif merupakan unsur angin, dan rasa berdiri harus lenyap atau digulung ketika sedang solat.
2. Ruku / ha merupakan unsur api, dan rasa ruku pun harus lenyap atau digulung.
3. Sujud / mim merupakan unsur tanah, dan rasa sujudpun harus lenyap atau digulung.
4. Duduk / atahiyat / dal merupakan unsur air, dan rasa duduk pun harus lenyap atau digulung.
Solat yang benar adalah apabila Nur Muhammad yang merupakan gabungan dari alif ha mim dan dal (ahmad) yang menjadi sumber terciptanya 4 unsur bumi langit adalah benar benar harus fana’ atau tiada atau nafi sehingga di dalam solat kita akan menemuiNYA.
Lakukanlah solat secara berulang ulang sehingga kita benar benar tidak merasakan 4 unsur diatas, seperti yang dilakukan oleh Rasullullah.
Perhatikan kalimat Tauhid “ Tiada Tuhan selain Allah” artinya tiada yang dipertuhankan seperti angin, api, tanah, air dan oksigen dll, karena DIA tidak bergantung pada unsur apapun, karena Allah ESA dan tidak ada satu pun yang menyerupaiNYA
Ketika Badan lenyap dan fana karena solat maka yang ada di dalam diri kita adalah “ AKU” (spt ayat katakan “KU tiupkan sebagian RuhKU kedalam tubuh manusia).
Setelah AKU wujud maka AKU harus berfirman atau bersuara dalam wujud kalamKU yaitu Laa illaha illallah atau Alif lam lam ha atau sebutan ALLAH.
Dan dengan Kalam ALLAH lah maka AKU ciptakan NUR MUHAMMAD dan dengan NUR MUHAMMAD lah AKU ciptakan bumi dan langit serta isinya.
Sesungguhnya yang berkata Allah hanya TUHAN itu sendiri bukan atas dasar bayangan atau pikiran manusia saja, kalimat Allah Allah bukanlah buatan dari jasad atau mulut manusia, tetapi hasil dari pada proses peleburan dalam laku solat yang benar benar khusu sehingga muncullah AKU.
Dan AKU lah yang akan berkata sendiri sesuai keinginanNYA, dan perkataan itu lah yang disebut KALAM yang berwujud energy cahaya (atau disebut sebagai Alif Lam Lam Ha / Allah yang berarti wujud atau diliputi sifat 20 atau juga dapat dikatakan sebagai NUR NYA yaitu NUR MUHAMMAD)
Yang kemudian dengan NUR MUHAMMAD ini lah akan melahirkan cahaya cahaya kecil atau disebut roh roh yang kemudian cahaya tersebut hadir di dalam akal budi manusia.
Energi Akal budi manusia tersebut kemudian diterima oleh pikiran manusia dan dengan pikiran manusia l
lah, dapat terwujud keinginan baik dan luhur dari manusia itu sendiri, sehingga dengan tercapainya keinginan maka terpenuhinya kebutuhan jasad manusia itu sendiri.
Adapun bacaan wajib solat adalah :
1. Mengucapkan takbir pada awal solat.
2. Membaca Alfatehah.
3. Membaca Solawat Nabi.
4. Mengucapkan Salam.
Takbir adalah awal dari suatu perjalanan rasa, dan kemudian menahan nafas dan mata dipejamkan, karena DIA tidak berada di dalam oksigen atau kebendaan, kemudian membaca alfatehah yang berarti pembuka atau membuka titik titik dibadan manusia, setelah itu masih dalam keadaan berdiri dan tidak ada bacaan atau hening sampai nafas dihembuskan.
Setelah nafas dihembuskan kemudian ditahan dan langsung melakukan ruku, tidak membaca apa apa hening dalam keadaan nafas ditahan, setelah nafas tidak kuat maka tarik nafas kembali kemudian ditahan.
Dan badan berdiri tegak, dalam keadaan hening setelah itu nafas dihembuskan dan ditahan kemudian sujud dalam keadaan hening dan tahan nafas yang sudah dihembuskan, kemudian tarik nafas kembali dan tahan, kemudian duduk dalam posisi hening dan menahan nafas dst.
Lakukan ritual solat menahan nafas spt rasullullah lakukan, dan lakukanlah berkali kali sampai kita merasakan perjalanan rasa dalam keadaan tiada, dan inilah yang disebut mematikan diri ketika hidup.
Coba anda bayangkan proses mi’raj dalam bentuk solat yang sangat dasyat, yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad di dalam mencapai Tuhannya. Dan apakah metode ini membuat kita menjadi sangat malas untuk kita lakukan ketika kita tahu bahwa solatlah yang membuat manusia menjadi lebur dan menemuiNYA, atau bahkan solat menjadi tidak perlu sama sekali, ketika kita menganggap bahwa metode duduk bersila merupakan metode yang baik didalam perjalanan menuju DIA.
Mari kita kembalikan semuanya kepada Dzat Yang Maha Agung yang berada di dalam diri kita sendiri, sesungguhnya segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasullullah mengandung makna yang sangat tinggi dan dalam, namun kadang kadang manusia masih dangkal di dalam menerimanya karena dipenuhi oleh ego dan lainnya, termaksud saya yang masih awam di dalam mengkaji makna solat.
Demikian pendapat saya mengenai solat, semoga menjadi masukan juga bagi orang orang awam yang sedang belajar ilmu ma’rifat.
PUASA : MENGALIRNYA ENERGI ILAHI DALAM DIRI
Saat puasa, badan kita terasa lemah lunglai tiada berdaya. Namun sesungguhnya rasakanlah saat itu justeru muncul energi Ilahi dalam diri. Sama seperti saat bahaya mengancam, tiba-tiba energi Ilahi muncul tiada terduga… Itulah energi kekuatan yang keluar saat kita pasrah total. Tanpa pasrah total, kita tidak akan pernah bisa didatangi oleh energi Ilahi.
“Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, energi hanya
dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya” demikian bunyi hukum yang
dirumuskan James Prescott Joule, seorang ahli fisika Inggris yang namanya
diabadikan menjadi satuan energi tersebut.
Menurut Joule, hukum
ini berlaku dalam seluruh aspek termasuk aspek kehidupan manusia. Aktivitas
yang kita lakukan setiap hari merupakan perubahan energi dari satu bentuk ke
bentuk lainnya. Contohnya, saat kita makan, kita mengubah energi kimia dari
makanan menjadi energi yang kita gunakan untuk bergerak dan berpikir. Energi
tersebut tidak akan berubah saat kita diam.
Semua energi, kata
Joule, hanya bisa diubah menjadi energi dalam bentuk lain misalnya energi gerak
menjadi energi listrik seperti yang terjadi pada dinamo listrik. Dinamo
berputar maka akan menghasilkan listrik. Atau sebaliknya yaitu energi listrik
menjadi energi gerak seperti pada motor listrik.
Bahkan yang paling
dahsyat yaitu perubahan energi menjadi masa seperti yang terjadi pada produksi
pasangan yaitu ketika suatu energi yang besarnya minimal 1022 k eV mendekati
medan inti akan bisa menjadi elektron dan positron (partikel bermasa).
Begitu juga sebaliknya
perubahan masa menjadi energi bisa terjadi pada peristiwa anihilasi yaitu
ketika elektron ketemu dengan positron, kedua materi tersebut saling meniadakan
dan berubah ujud menjadi energi yang sebanding dengan masa dari kedua partikel
tersebut sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Einstein.
Tuhan memang Maha
Segalanya. Maha Pencipta, Maha Meniadakan, dan juga Maha Mengubah. Tuhan
menciptakan alam semesta ini sekaligus hukum-hukum alam yang berlaku di
dalamnya. Hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan ini kemudian dirumuskan oleh
Archimedes, Newton,
Schrodinger, Einstein dan lain-lain memang sudah satu paket dengan
diciptakannya alam semesta sehingga dengan peristiwa-peristiwa alam yang
terjadi manusia dapat belajar.
Sayangnya, belum semua
hukum alam itu berhasil dirumuskan oleh manusia. Misalnya teori penciptaan alam
hingga saat ini belum bisa diterangkan dengan hukum kekekalan energi ataupun
hukum kekekalan massa.
Teori itu belum bisa
menjelaskan sebab terjadinya alam semesta ini. Seluruh alasan akan buntu ketika
ditanya apa yang menjadi permulaan dari semua ini. Tetapi bagi orang yang
percaya bahwa ada kekuatan yang mampu menciptakan tanpa sebab akibat, maka
itulah energi Ilahi yang mengatakan KUN FAYAKUN “Jadi maka Jadilah,” sumber
awal mula energi di dunia ini.
Siapa yang mampu
menciptakan dan juga mampu memusnahkan energi? hanyalah Allah SWT, Tuhan yang
Maha Pencipta. Kita manusia adalah ciptaan-Nya yang tentu saja tidak mungkin
meraih kekuasaan yang dimiliki oleh-Nya tanpa kehendak-NYA.
Andaikan
misalnya manusia mampu menciptakan energi kemudian energi bisa diubah menjadi massa dan seterusnya,
sehingga manusia dapat menciptakan tanah, menciptakan bumi menciptakan bintang
dan sebagainya. Menurut logika manusia hal itu tidak mungkin.
Tetapi tentu
kita tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan bahwa ini semua sudah diatur Tuhan
tanpa berfikir bagaimana cara Tuhan mengatur alam ini. Semestinya kita berfikir
bahwa Tuhan memberikan kebebasan bagi manusia untuk memikirkan ciptaan-Nya. Kita
juga bebas berfikir bagaimana cara Tuhan mengatur alam ini yang berjalan sesuai
dengan aturan-aturan-Nya.
Mengenai teori
yang sekarang belum dapat dijelaskan atau bahkan tidak dapat dijelaskan
janganlah terburu-buru putus asa dengan mengatakan bahwa ini pasti harus ada
yang ditambahkan dari ketiadaan, atau ini pasti harus dihilangkan agar sesuai
dengan rumus matematisnya. Masih ada alternatif lain yang mungkin juga belum
terfikirkan. Diantara hitam dan putih masih ada berjuta warna pilihan dan di
antara kebuntuan hidup ini, untung ada bulan kemuliaan Ramadhan….
PUASA RAMADHAN DAN HADIRNYA ENERGI ILAHI
Puasa Ramadhan adalah momentum kita semua untuk
menghayati hakikat kekekalan energi. Bahwa tiada yang berkuasa dengan kuasa
yang mutlak melainkan Allah SWT. Hatinya bersaksi, bahwa kekuasaan Allah SWT
meliputi segala ada termasuk dirinya sendiri. Kekekalan ini terasa KETIKA KITA BERPUASA TIDAK
MAKAN DAN MINUM, MENAHAN NAFSU MAKA YANG TERJADI ADALAH KUN FAYAKUN,
ENERGI ILAHI YANG LUAR BIASA DAHSYAT AKAN MENGALIR DALAM DIRI KITA.Dengan syarat, puasa
kita adalah puasa yang betul.
Puasa Ramadhan
yang rata-rata terdiri dari 30 hari bisa dibagi menjadi tiga momentum. 10 hari
pertama, 10 hari kedua dan 10 hari ketiga. Pada 10 hari pertama kita mengoreksi
diri dalam hal KESALAHAN OBYEKTIF mengenai makan dan minum. Kita kuat
sesungguhnya bukan karena energi dari makanan dan minuman dan yang benar adalah
kita kuat dan segar karena LA HAULA WA LA QUWWATA ILA BIL-LAH. Hakikat energi
yang berasal dari makanan dan minuman itu sebenarnya hanya energi yang bisa
terjadi atas perkenaan NYA semata.
Saat puasa, badan kita
terasa lemah lunglai tiada berdaya. Namun sesungguhnya rasakanlah saat itu
justeru muncul energi Ilahi dalam diri. Sama seperti saat bahaya mengancam,
tiba-tiba energi kekuatan muncul tiada terduga… Itulah energi Ilahi yang keluar
saat kita pasrah total. Tanpa pasrah total, ikhlas atau nrimo kita tidak akan
pernah bisa didatangi oleh energi Ilahi. Maka pada saat puasa pula, biasanya
merupakan saat terbaik untuk melakukan pemancaran energi Ilahi seperti
mendoakan kesembuhan orang lain, kelancaran rezeki dan sebagainya.
Dan sesungguhnya
energi Ilahi itu sudah tersimpan di dalam Kitab-NYA berupa ayat-ayat kauniah
yang tergelar di alam semesta ini. Tinggal sekarang apakah kita mampu membuka
kuncinya atau tidak? INNA QUWWATIH, NAKABAN NATAH KITABAN NATAH.. WA INNAMA
AMRUHU IDZA ARODA SYAI’AN AN YAQULA LAHU KUN FAYAKUN.
Pada 10 hari
kedua yaitu hari kesebelas hingga hari kedua puluh bulan Ramadhan, kita koreksi
kesalah pahaman mengenai pembuangan tenaga. Bahwa kita tidak lah membuang
tenaga melainkan justeru kembali ke NAFSIN WAHIDATIN. Alastu birabbikum, kalu
bala syahidna (QS 7:172) yaitu Janji Kawula Gusti.
Dan yang the
best of all terjadi pada 10 hari ketiga yaitu hari kedua puluh satu hingga
selesai bulan Ramadhan yaitu saat terjadinya LAILATUL QADAR. Yaitu teraksesnya
ENERGI ILAHI oleh kesadaran ruhani kita seperti 1000 energi cahaya bulan yang
menjadi satu dalam satu momentum beserta kepastian Furqoni 82 tahun yaitu
energi LA ILAHA ILAL-LAH.
Allah SWT yang
menganugerahkan energi pada manusia agar dengan energi yang dimilikinya itu dia
memiliki sedikit kuasa untuk berusaha dan berbuat. Namun perlu diingat bahwa
kuasa dan upaya tersebut tentunya hanya “pinjaman” yang akan “kembali” kepada
Yang Punya Kuasa.
Menyelami makna
LA HAULA WA LA QUWWATA ILLA BILLAH (Tiada daya dan upaya melainkan dengan
bantuan Allah) dalam dirinya. Ungkapan tauhid ini mengandungi rahasia bahwa
Tuhanlah yang Memiliki Semua Energi di alam semesta ini. Tiada satu pun energi
kecuali berada di dalam kekekalan energi-NYA.
Kita makan dan
minum untuk mencari sumber tenaga. Sumber tenaga dari makan dan minuman yang
kita konsumsi sesungguhnya berasal dari tanaman, tumbuhan dan hewan. Mereka
mendapat energi dari rantai makanan lain begitu seterusnya hingga akhirnya
bermuara pada satu sumber energi yang tidak berasal dari sumber energi lain,
yaitu Energi Ilahi.
Mereka yang
tenggelam dalam lautan penyaksian wahdah (kesatuan sifat-sifat Allah) pasti
menghayati bahwa manusia dan seluruh alam ini tidak pernah terlepas daripada
kekuasaan Allah SWT. Maka, dia merasa harus menghambakan dirinya dan memilih
untuk mentaati-Nya.
Tidak mudah
untuk menemukan rumusan rahasia ini. Kita bisa berteori namun umumnya belum
sampai pada pemahaman yang sesungguhnya. Mata, telinga dan hati kita masih
terhijab dan hakikat hukum kekekalan energi Allah SWT belum mampu kita temukan.
Kita masih menganggap bahwa yang berperanan dalam memberi manfaat dan menolak
kemudaratan adalah dirinya sendiri dan makhluk-makhluk di sekitarnya.
Kita yang lalai
itu terhijab dengan perbuatan Allah (af’aal) melalui makhluk-makhlukNya
(infi’al) sehingga gagal menghayati makna sebenar wujud seluruh makhluk.
Kita terhijab dalam kepompong hukum sebab akibat sehingga tidak dapat
menghayati konsep qudrat (kekuasaan), iradah dan ilmu Allah.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan
pada kita sebagai berikut: KUNCI SEBENARNYA MENGAKSES
ENERGI ILAHI YAITU MENGAKUI KEKUASAAN ALLAH SWT DENGAN CARA MENGAKUI KELEMAHAN
DIRI DI HADAPAN-NYA SEBAGAIMANA MUSA AS YANG TERSUNGKUR DI BUKIT SINAI. ATAU
BERSUJUDNYA SEORANG MUSLIM DENGAN SUNGGUH SUNGGUH SUJUD SAAT SHOLAT. KEYAKINAN
INI JIKA DITERJEMAHKAN DALAM DIRI SESEORANG MAKA DIA AKAN MENGHADAPI KEHIDUPAN
INI DENGAN PENUH KEPASRAHAN, NRIMO, IKHLAS, KETERGANTUNGAN HATI HANYA
KEPADA-NYA TANPA RASA KEBIMBANGAN SEDIKITPUN.
Apa yang dia
laksanakan adalah apa yang dituntut oleh Allah. Mereka tidak perlu risau soal
hasil karena sudah ada jaminan kepastian atas dirinya. Namun, tatkala
mengetahui bahwa hanya Allah yang Maha Berkuasa dalam kehidupan ini, maka dia
pun tidak bermalas-malasan dan sebaliknya akan “berusaha” sekeras mungkin
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Allah menugaskan
agar kita berusaha dalam rangka menunaikan tugas penghambaan diri. Usaha yang
kita lakukan sebenarnya telah diperintahkan oleh Allah dan ini kita lakukan
dalam rangka penyempurnaan ibadah. Kita dilarang keras jadi pemalas! Karena
kewajiban kita adalah melaksanakan ibadah khusus (syahadat, sholat, zakat,
puasa dan sebagainya) dan ibadah umum (mencari rezeki, beramal kebajikan demi
kesejahteraan semua makhluk hidup, melestarikan alam sekitar dan sebagainya).
ENERGI ILAHI YANG KEKAL ABADI
Ada satu fenomena yang bila kita memikirkannya
kita akan menyebut ALLAHU AKBAR.. aneh tapi nyata.. yaitu tentang cahaya. Di
dalam QS An Nur 35 menjelaskan: “Allah adalah cahaya langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya-Nya adalah ibarat misykat. Di dalam misykat itu ada pelita.
Pelita itu ada di dalam kaca. Kaca itu laksana bintang berkilau. Dinyalakan
dengan minyak pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang bukan di timur atau di
barat. Yang minyaknya hampir menyala dengan sendirinya walaupun tiada api
menyentuhnya. Cahaya di atas Cahaya! Allah menuntun kepada cahaya-NYA, siapa
saja yang ia kehendaki. Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh
Allah mengetahui segalanya.”
Kenapa Allah SWT
mengidentifikasikan diri-Nya dengan perumpamaan Cahaya Maha Cahaya? Jawabannya
adalah cahaya tidak pernah kehabisan energi.
Ada
anggapan sementara kaum ilmuwan di dalam Teori Einstein bahwa cahaya akan
kehilangan energinya ketika meninggalkan medan
gravitasi yaitu dengan bergeser warnanya ke arah warna merah dengan panjang
gelombang yang lebih panjang. Yang dimaksud kehilangan energinya adalah bukan
dalam artian benar-benar hilang, tetapi energinya berkurang dengan
mentransferkan energinya menjadi bentuk yang lain.
Cahaya ketika meninggalkan
gravitasi (meninggalkan bumi) akan dibelokan dan terurai karena adanya
perbedaan tekanan udara, seperti halnya cahaya ketika dilewatkan pada sebuah
prisma. Disini tidak ada energi yang hilang.
Di dalam fisika,
cahaya atau gelombang elektromagnetik adalah sebuah panjang gelombang tertentu
yang dipancarkan dari sumber dengan gravitasi yang lebih kuat, yang terpancar
menuju area dengan gravitasi yang lebih rendah. Pengamat akan melihat bahwa
panjang gelombang yang diterimanya akan menjadi lebih besar (frekuensi lebih
rendah, energi lebih rendah), itu yang disebut fenomena gravitational redshift.
Tetapi jangan
buru-buru mengatakan bahwa cahaya tersebut kehilangan energi. Untuk hal yang
seperti ini (dalam orde cahaya) kita harus menggunakan hukum relativitas, dan
tidak bisa menggunakan fisika klasik.
Fenomena ini mirip
dengan ketika ada dua orang, yang satu tinggal di bumi dan satunya naik pesawat
dengan kecepatan yang mendekati cahaya. Kedua orang tersebut mengukur panjang
sebuah benda yang diam dibumi, hasil yang tampak adalah akan memperlihatkan bahwa
hasil pengukuran mereka berbeda. Ini tidak bisa dipahami dengan fisika klasik
tapi bisa dipahami menggunakan hukum relativitas.
Pada gravitational
redshift tidak ada energi yang hilang, hanya ada perbedaan pengamatan akibat
beda tempat, perbedaan tersebut harus dilihat secara relativistik (menggunakan
hukum relativitas) jadi tidak ada yang hilang dan tidak ada yang aneh.
Hukum relativitas
tidak pernah mengatakan bahwa kita bisa mundur ke masa lampau, itu hanya
terjadi pada film fiksi saja. Tetapi menurut hukum relativitas bahwa waktu
memang bisa molor tergantung dari posisi pengamatnya. Fenomenanya bisa diamati
salah satunya yaitu ketika foton dari cahaya matahari bergerak menuju bumi,
waktu menjadi relatif bagi si foton.
Masih di dalam fisika
bahwa semua partikel (apapun itu jenisnya) tidak bisa bergerak dengan kecepatan
melewati 3 x 10^8 m/s (kecepatan cahaya). Mungkin itu sudah dibatasi oleh yang
menciptakan alam ini. Kalau ada partikel yang mampu bergerak dengan kecepatan
melampaui kecepatan cahaya persamaan relativitas menjadi tidak terdefinisikan.
Jika kita naik pesawat dengan kecepatan 0.75 C relatif terhadap bumi, kemudian
kita menembakan peluru pada arah yang sama dengan pesawat dengan kecepatan 0.75
C relatif terhadap pesawat, maka kecepatan peluru terhadap bumi tidak menjadi
1,5 C.
Barangkali itu
sebabnya, Allah SWT membuat perumpamaan dirinya dengan Cahaya Maha Cahaya…
Sebab cahaya-NYA tidak pernah kehabisan energi dimana pun dan sampai kapanpun.
Energi Ilahi sebagaimana tercermin dalam energi dalam hukum fisika, akan kekal
abadi sepanjang masa dan kita akan bisa mendapatkannya kapanpun kita inginkan
asal punya niat dan kemauan. Mari kita berproses bersama menuju kesempurnaan…
Selamat berpuasa Ramadhan.
Jumat, 10 Agustus 2012
Syech Siti Jenar
Semua Tentang Syech Siti Jenar serta
Ajaran²nya
Mengenal Nama
Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.
Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.
*Asal Usul
Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
*Padepokan
Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus]
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia);jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus]
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia);jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).
*Pencerahan
Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar;Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar;Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.
Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)
1.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
2. “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.
3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
4. “Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil "Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)", yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil"Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)", maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi", yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan.
5. “Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
Semoga yg ini bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal tapi dengan Hati yang sulit mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus....
Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas ini.....amin....amin
1.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
2. “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.
3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
4. “Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil "Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)", yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil"Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)", maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi", yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan.
5. “Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
Semoga yg ini bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal tapi dengan Hati yang sulit mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus....
Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas ini.....amin....amin
SURGA DAN
NERAKA Syekh Siti Jenar
“anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia.
Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir………
“anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia.
Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir………
PUASA dan HAJI Syekh
Siti Jenar
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
Makna Ihsan
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
Tafsir Kisah
Musa dan Khidir (Syekh Siti Jenar)
“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
“Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan (ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as –Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna (bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).”
“Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.”
“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).”
“Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”
“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).”
“Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran dari Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.”
“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
“Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan (ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as –Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna (bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).”
“Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.”
“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).”
“Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”
“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).”
“Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran dari Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.”
Sasahidan Syekh Siti Jenar
Tentang Allah, Tauhid, dan Manunggaling
Kawula-Gusti
1.“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?… Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah seumpama memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu meliputi segala sesuatu.”; Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu bukan disana atau disitu, ettapi ini.”; Syekh Bentong menyuarakan, “Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) [bagian XLIV]. Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.
2.“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan terakhir dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam kesatuan; manunggaling kawula-Gusti.
3.“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
Maksud bebas ungkapan tersebut adalah “tidak usah kebanyakan bicara tentang teori ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya mengarah kepada Allah sebagai Tuhan”.
4.“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal sebagai niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan af’al Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada awalnya ditiupkan atas setiap pribadi manusia.
5.“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
6.“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
7.“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
Ungkapan no. 5, 6, dan 7...
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri.
Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
1.“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?… Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah seumpama memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu meliputi segala sesuatu.”; Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu bukan disana atau disitu, ettapi ini.”; Syekh Bentong menyuarakan, “Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) [bagian XLIV]. Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.
2.“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan terakhir dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam kesatuan; manunggaling kawula-Gusti.
3.“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
Maksud bebas ungkapan tersebut adalah “tidak usah kebanyakan bicara tentang teori ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya mengarah kepada Allah sebagai Tuhan”.
4.“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal sebagai niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan af’al Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada awalnya ditiupkan atas setiap pribadi manusia.
5.“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
6.“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
7.“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
Ungkapan no. 5, 6, dan 7...
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri.
Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
8.“Syekh
Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu
sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan
Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait
13).
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.
9. “Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.”
“Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing mengasingkan.
Kesejatian Hidup dan Kehidupan
10.“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.
11.“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah.
” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.
Tuhan dan Kemanusiaan
12.“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab\jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan di luarnya.
13."Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa." (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
14.“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
*)sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta makhluk lainnya…allahu akbar
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar.
9. “Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.”
“Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing mengasingkan.
Kesejatian Hidup dan Kehidupan
10.“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.
11.“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah.
” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.
Tuhan dan Kemanusiaan
12.“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab\jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan di luarnya.
13."Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa." (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
14.“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
*)sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta makhluk lainnya…allahu akbar
15.“Syukur
kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini
saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan
sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam
saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya.Dengan badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala kehidupan yang juga sempurna.
16.“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi manunggal.
Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau “dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami.
17.“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati, kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam al-Ghaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar
18.“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu ma’rifat secata bertahap, yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-kamil), serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1) Pertama-tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu sangkan-paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham keempat, ia menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.
Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya.Dengan badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala kehidupan yang juga sempurna.
16.“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi manunggal.
Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau “dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami.
17.“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati, kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam al-Ghaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu –sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar
18.“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu ma’rifat secata bertahap, yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-kamil), serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1) Pertama-tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu sangkan-paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham keempat, ia menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.
Sasahidan: Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar
19.“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan, “Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.”
Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII yang dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6, dimana wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syari’at. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.
19.“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan, “Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.”
Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII yang dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6, dimana wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syari’at. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.
Kemanunggalan
Ke-Iman-an
20.“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
a.Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.
b.Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya) Allah.
c.Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).
d.Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah
e.Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.
f.Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
g.Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.
h.Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.
i.Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah.
j.Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah.
k.Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat dan anugerah) Allah.
l.Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah.
m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.
n.Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah.
o.Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, ‘arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung yang disebut alam kiyal (‘alam al-khayal), maksudnya adalah angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam barzakh, yang dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma af’al, yang disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah dipenuhi sifat kamal jamal.” (Wedha Mantra, hlm. 54-55).
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia adalah cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang berimbang. Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah berhasil “dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama “merasakan” Allah dalam diri pribadi masing-masing.
21.Adapun yang menjadi maksud:
a.Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.
b.Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.
c.Ma’rifat, penglihatan roh.
d.Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
e.Akal, pembicaraannya roh.
f.Niat, pakaremaning roh.
g.Shalat, menghadapnya roh.
h.Syahadat, keadaan roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).
Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, ma’rifat, qalbu, dan akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.
22.“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh adalah pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.
Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak merumuskan hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga pelimpahan kodrat Allah pada manusia.
Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
20.“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
a.Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.
b.Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya) Allah.
c.Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).
d.Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah
e.Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.
f.Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
g.Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.
h.Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.
i.Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah.
j.Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah.
k.Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat dan anugerah) Allah.
l.Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah.
m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.
n.Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah.
o.Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, ‘arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung yang disebut alam kiyal (‘alam al-khayal), maksudnya adalah angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam barzakh, yang dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma af’al, yang disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah dipenuhi sifat kamal jamal.” (Wedha Mantra, hlm. 54-55).
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia adalah cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang berimbang. Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah berhasil “dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama “merasakan” Allah dalam diri pribadi masing-masing.
21.Adapun yang menjadi maksud:
a.Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.
b.Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.
c.Ma’rifat, penglihatan roh.
d.Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
e.Akal, pembicaraannya roh.
f.Niat, pakaremaning roh.
g.Shalat, menghadapnya roh.
h.Syahadat, keadaan roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).
Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, ma’rifat, qalbu, dan akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.
22.“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh adalah pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.
Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak merumuskan hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga pelimpahan kodrat Allah pada manusia.
Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
Syahadat
23.“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh, bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan Bonang, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang,”(Wejangan Walisanga, hlm. 50).
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan sarana ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat.
24.“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu kematian], sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Syahadat Sakarat adalah syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.
23.“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh, bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan Bonang, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang,”(Wejangan Walisanga, hlm. 50).
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan sarana ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat.
24.“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu kematian], sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Syahadat Sakarat adalah syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.
25.“Syahadat
Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur
cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring
sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.”
(syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyf.
26.“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh”
(ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
27.“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”
Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan “syahadat sakarat wiwitane pati” ini.
(syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyf.
26.“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh”
(ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
27.“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”
Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan “syahadat sakarat wiwitane pati” ini.
28.“Ashadu
ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya
tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing
sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine,
angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafa’at sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
29.“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
30.“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya.
Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi kalangan ‘awam (yang tidak mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut hampir sama dengan ajaran Syuhrawardi.
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafa’at sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
29.“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
30.“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya.
Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi kalangan ‘awam (yang tidak mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut hampir sama dengan ajaran Syuhrawardi.
Shalat (tarek
dan Daim)
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan , mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget….))
Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan , mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget….))
Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.
31. Shalat
Subuh
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku.”
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku.”
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali
32.Shalat Luhur
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku.”
(Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Tuhanku).
Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing osikku.”
(Aku berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
33.Shalat ‘Ashar
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku.”
(Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing angen-angenku.”
(Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku).
Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
34.Shalat
Maghrib
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad. Muhammad yang menempati ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Muhammadku).
Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.”
(Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku).
Malaikatnya Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali
35.Shalat ‘Isya’
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing uripku.”
(Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan. Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan kehidupanku).
Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku.”
(Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku).
Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
36.“Inilah
shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama),
dengan waktu tengah malam tepat.
a.Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b.Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma)
c.Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah).
d.Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e.Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan kena pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
f.Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g.Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.
h.Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma).
i.Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak terkena kema-tian.
j.Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena pati” (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena mati).
k.Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun (yakni madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri), bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa Arab).
a.Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b.Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma)
c.Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah).
d.Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e.Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan kena pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
f.Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g.Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.
h.Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma).
i.Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak terkena kema-tian.
j.Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena pati” (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena mati).
k.Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun (yakni madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri), bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa Arab).
37.“Shalat lima kali sehari, puji
dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar
atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang
dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
38.“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para pencuri.
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
38.“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para pencuri.
Puasa Zakat
dan Haji
39.“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” .
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga).Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.
39.“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” .
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga).Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.
Makna Ihsan
40.“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
41.“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
42.“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.” .
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
40.“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
41.“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
42.“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.” .
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
43.“Hyang
Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya
mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan
keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus,
menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat
dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
44.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” .
Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
45.“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” .
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.
Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
44.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” .
Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
45.“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” .
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulana, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan Nama-Nya.
46.“Apakah
tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak
dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali
setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya
menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para
Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini
baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat
tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat
sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
.
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.
47.“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.”
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.
47.“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.”
48.Menurut
Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya
orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui
makna mistik surat
al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang
paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti
Jenar. .
Bis.............................. kedudukannya............. ubun-ubun
Millah...........................kedudukannya..... .........rasa
Al-Rahman-al-Rahim.......kedudukannya...............penglihatan (lahir batin)
Al-hamdu.....................kedudukannya............ ...hidupmu (manusia)
Lillahi...........................kedudukannya.... ..........cahaya
Rabbil-‘alamin................kedudukannya..............n yawa dan napas
Al-Rahman al-Rahim.......kedudukannya...............leher dan jakun
Maliki..........................kedudukannya...... .........dada
Yaumiddin....................kedudukannya......... ......jantung (hati)
Iyyaka........................kedudukannya........ .......hidung
Na’budu.......................kedudukannya........ .......perut
Waiyyaka nasta’in.........kedudukannya................dua bahu
Ihdinash......................kedudukannya........ ........sentil (pita suara)
Shiratal.......................kedudukannya....... .........lidah
Mustaqim.....................kedudukannya......... ......tulang punggung (ula-ula)
Shiratalladzina..............kedudukannya......... .......dua ketiak
An’amta.......................kedudukannya........ ........budi manusia
‘alaihim........................kedudukannya...... .........tiangnya (pancering) hati
Ghairil.........................kedudukannya...... ..........bungkusnya nurani
Maghdlubi....................kedudukannya......... .......rempela/empedu
‘alaihim........................kedudukannya...... ..........dua betis
Waladhdhallin...............kedudukannya.......... ......mulut dan perut (panedha)
Amin...........................kedudukannya....... .........penerima
Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
49.“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” .
Syekh Siti Jenar menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci terjerat badan wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang menguburkan kebenaran sejati, dan berusaha mengubur kesadaran Ingsun Sejati.
Bis.............................. kedudukannya............. ubun-ubun
Millah...........................kedudukannya..... .........rasa
Al-Rahman-al-Rahim.......kedudukannya...............penglihatan (lahir batin)
Al-hamdu.....................kedudukannya............ ...hidupmu (manusia)
Lillahi...........................kedudukannya.... ..........cahaya
Rabbil-‘alamin................kedudukannya..............n yawa dan napas
Al-Rahman al-Rahim.......kedudukannya...............leher dan jakun
Maliki..........................kedudukannya...... .........dada
Yaumiddin....................kedudukannya......... ......jantung (hati)
Iyyaka........................kedudukannya........ .......hidung
Na’budu.......................kedudukannya........ .......perut
Waiyyaka nasta’in.........kedudukannya................dua bahu
Ihdinash......................kedudukannya........ ........sentil (pita suara)
Shiratal.......................kedudukannya....... .........lidah
Mustaqim.....................kedudukannya......... ......tulang punggung (ula-ula)
Shiratalladzina..............kedudukannya......... .......dua ketiak
An’amta.......................kedudukannya........ ........budi manusia
‘alaihim........................kedudukannya...... .........tiangnya (pancering) hati
Ghairil.........................kedudukannya...... ..........bungkusnya nurani
Maghdlubi....................kedudukannya......... .......rempela/empedu
‘alaihim........................kedudukannya...... ..........dua betis
Waladhdhallin...............kedudukannya.......... ......mulut dan perut (panedha)
Amin...........................kedudukannya....... .........penerima
Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat dan makna historis).
49.“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” .
Syekh Siti Jenar menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini, sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci terjerat badan wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang menguburkan kebenaran sejati, dan berusaha mengubur kesadaran Ingsun Sejati.
50.“Syekh
Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat
Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup
itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan
barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan
membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat
dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya.” .
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak akan menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali saja.” .
Ini adalah pandangan Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut Syekh Siti Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera, akal-nalar, dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa dijadikan pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah manunggallah yang betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya, konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa baginya Muhammad bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan ajaran Islam secara gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa, kecuali hanya untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang bersifat aktif. Dalam memahami konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa syafa’at tidak bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian hari. Justru syafa’at Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya Muhammad, me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan asmanya. Rahasia asma Allah dan asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk diimani, tetapi harus merasuk dalam Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk menyatu cahaya dengan Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses Manunggaling Kawula-Gusti.
51.“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
Syekh Siti Jenar menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan manusia. Segala sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang natural (alami), tanpa rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya memenuhi penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik Dirinya Sendiri. Jadi seluruh manusia masing-masing mamiliki hak mengelola alam. Alam bukan milik negara atau raja, namun milik manusia bersama. Maka setiap orang harus memiliki dan diberi hak kepemilikan atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan ada juga yang harus dimiliki secara kolektif.
Dari wejangan Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam semesta adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam yang kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala sesuatu yang ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh manusia. Dan nama-nama itu seluruhnya akan kembali kepada Sang Pemilik Nama yang sesungguhnya. New York
“Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya.” .
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia, saya pastikan kamu tidak akan menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali saja.” .
Ini adalah pandangan Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut Syekh Siti Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera, akal-nalar, dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa dijadikan pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang yang sudah manunggallah yang betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya, konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa baginya Muhammad bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan ajaran Islam secara gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa, kecuali hanya untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang bersifat aktif. Dalam memahami konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa syafa’at tidak bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian hari. Justru syafa’at Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan dirinya Muhammad, me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan asmanya. Rahasia asma Allah dan asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk diimani, tetapi harus merasuk dalam Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk menyatu cahaya dengan Sang Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses Manunggaling Kawula-Gusti.
51.“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
Syekh Siti Jenar menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan manusia. Segala sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang natural (alami), tanpa rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya memenuhi penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik Dirinya Sendiri. Jadi seluruh manusia masing-masing mamiliki hak mengelola alam. Alam bukan milik negara atau raja, namun milik manusia bersama. Maka setiap orang harus memiliki dan diberi hak kepemilikan atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan ada juga yang harus dimiliki secara kolektif.
Dari wejangan Syekh Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam semesta adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam yang kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala sesuatu yang ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh manusia. Dan nama-nama itu seluruhnya akan kembali kepada Sang Pemilik Nama yang sesungguhnya. New York
: Ballatine,
1993>. Maka memang nama itu perlu, namun jangan sampai menjebak manusia
hanya untuk memperdebatkan nama.
Tarekat dan
Jalan Mistik Syekh Siti Jenar
52.“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas
Yang dari Malaikat : budi, iman
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak
Inilah maksud dari lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan rusak kecuali dzat Allah yang tidak rusak. .
Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi, yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun illa wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya (penampakan wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah, maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
53.“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” .
Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi kepemilikan itu hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah berhasil Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sikap yang realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk (manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa saling memiliki dan dimiliki. Karena semua itu merupakan aspek dari ketunggalan.
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
52.“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas
Yang dari Malaikat : budi, iman
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak
Inilah maksud dari lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan rusak kecuali dzat Allah yang tidak rusak. .
Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi, yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun illa wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya (penampakan wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah, maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
53.“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” .
Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi kepemilikan itu hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah berhasil Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sikap yang realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk (manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa saling memiliki dan dimiliki. Karena semua itu merupakan aspek dari ketunggalan.
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
54.“Jika
engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau
terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat
seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia
telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus,
hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa
saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi
pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang
tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada
hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula
yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua
itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya. Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.” .
Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam pada umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau bukan hanyalah pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian hanya karena perilaku serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat adalah bahwa para auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun yang lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak lain adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung terus-menerus. Hanya saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali tersebut, namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling Kawula Gusti bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini. Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih naskah-naskah tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada Syekh Siti Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar.
Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya. Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.” .
Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam pada umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau bukan hanyalah pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian hanya karena perilaku serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat adalah bahwa para auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun yang lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak lain adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung terus-menerus. Hanya saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali tersebut, namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling Kawula Gusti bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini. Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih naskah-naskah tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada Syekh Siti Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar.
AJARAN YANG DISEBARKAN PARA MURID DAN PELAKSANAAN ILMU KASAMPURNAAN
Metode dan Pokok Ajaran Syekh Siti Jenar
1. “Semua ajaran yang disampaikan Ki Ageng Pengging meyakinkan, jelas, teratur dan terus-terang. Tiada yang dirahasiakan, tanpa tedeng aling-aling, tiada pula selamatan atau sajian kepada Rosul, bahkan kain putih saja tidak diperlukan. Siapa saja yang datang diberi pengetahuan, ilmu tentang rahasia alam semesta. Tiada bersyahadat, tiada berdzikir, mengajarkan tentang kenyataan dari ajal. Hidup di dunia dipakai sebagai contoh perumpamaannya. Di dunia ini kepercayaan didesak oleh syahadat. Serta dipalsukan dengan perumpamaan ilmu gaib yang kosong. Berdzikir dan sembahyang dipakai sebagai kedok penipuan, seperti yang diajarkan para sahabat waliullah.” .
Wejangan dan Larangan Syekh Siti Jenar
2. Sudah diketahui secara umum bahwa wejangan (ajaran-ajaran) Syekh Siti Jenar dirumuskan dalam ajaran Sasahidan. Adapun yang menjadi sesuatu yang harus dicegah oleh para pengikut dan pengamal ajarannya adalah (Sabda Sasmaya, hlm. 45, 47):
*Tidak boleh memiliki daya atau keinginan yang buruk dan jelek.
*Tidak boleh berbohong.
*Tidak boleh mengeluarkan suara yang jorok, buruk, saru, tidak enak didengar dan menyakiti orang.
*Tidak boleh memakan daging (darat, udara maupun air).
*Tidak boleh memakan nasi, kecuali terbuat dari bahan jagung.
*Tidak boleh berkhianat kepada sesama manusia.
*Tidak boleh minum air yang tidak mengalir.
*Tidak boleh membuat dengki dan iri hati.
*Tidak boleh membuat fitnah.
*Tidak boleh membunuh seluruh isi jagat.
*Tidak boleh memakan ikan atau daging dari hewan yang rusuh, tidak patut, tidak bersisik atau tidak berbulu.
3. “Manusia yang sejati itu ialah ia yang mempunyai hak dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, serta berdiri mandiri diri pribadi. Sebagai hamba ia menjadi sukma, sedang Hyang sukma menjadi nyawa. Hilangnya nyawa bersatu padu dengan hampa dan kehampaan ini meliputi alam semesta.”.
4. “Adanya Allah karena dzikir, sebab dengan berdzikir orang menjadi tidak tahu akan adanya zat dan sifat-sifatnya. Nama untuk menyebut Hyang Manon, yaitu Yang Maha Tahu, menyatukan diri hingga lenyap dan terasa dalam pribadi. Ya Dia ya Saya. Maka di dalam hati timbul gagasan, bahwa ia yang berdzikir menjadi zat yang mulia. Dalam alam kelanggengan yang masih di dunia ini, di manapun sama saja, hanya manusia yang ada…Allah yang dirasakan adanya waktu orang berdzikir, tidak ada, jadi gagasan yang palsu, sebab pada hakikatnya adanya Allah yang demikian itu hanya karena nama saja.” ”…nama Tuhan itu berasal dari manusia.” .
5. “Manusia yang melebihi sesamanya, memiliki duapuluh sifat, sehingga dalam hal ini antara agama Hindu-Budha Jawa dan Islam sudah campur. Di samping itu rupa dan nama sudah bersatu. Jadi tiada kesukaran lagi untuk mengerti akan hal ini dan semuanya sangat mudah dipahami.” .
6. “Manusia hidup dalam alam dunia ini hanya menghadapi dua masalah yang saling berpasangan, yaitu baik buruk berpasangan dengan kamu, hidup berjodoh dengan mati, Tuhan berhadapan dengan hamba-Nya.”
7. “Orang hidup tiada merasakan ajal, orang berbuat baik tiada merasakan berbuat buruk dan jiwa luhur tiada bertempat tinggal. Demikianlah pengetahuan yang bijaksana, yang meliputi cakrawala kehidupan, yang tiada berusaha mencari kemuliaan kematian, hidup terserah kehendak orang masing-masing.” .
8. “Menurut ajaran Siti jenar dulu, keadaan hidup itu berupa bumi, angkasa, samudera dan gunung seisinya, semua yang tumbuh di dunia, udara dan angin yang tersebar di mana-mana, matahari dan bulan menyusup di langit dan keberadaan manusia sebagai makhluk yang terutama.”< Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 8>.
9. “Allah bukan johar manik, yaitu ratna mutu manikam, bukan jenazah dan bukan rahasia yang gaib. Syahadat itu kepalsuan.”< Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 9>.
10. “Akhirat itu di dunia ini tempatnya. Hidup dan matipun hanya di dunia ini.”.
11. “Bayi itu berasal dari desakan. Setelah menjadi tua menuruti kawan. Karena terbiasa waktu kanak-kanak berkumpul dengan anak, setelah tuapun berkumpul dengan orang-orang tua. Berbincang-bincanglah mereka tentang nama yang sunyi hampa, saling bohong-membohongi, meskipun sifat-sifat dan wujud mereka bicarakan itu tidak mereka ketahui.”.
12. “Saya di sini membuka hutan, bercocok tanam di huma untuk penghidupan atas kehendak Hyang Manon, Yang Maha Tahu. Jika tanaman saya memberi hasil jagung, kentang dan ketela saya makan bersama Hyang Agung, Yang Maha Agung, yang memberi perintah kepada saya.” “Tatkala saya mencangkul, saya bersama Gusti Tuhan. Ketika saya mengambil hasil cocok tanaman saya, saya bersama Pengeran Tuhan. Sekarang ada sesama orang memanggil saya ke Bintara. Di sini ada apa selain Pangeran dengan nama-Nya, yang serambutpun tiada terpisahkan.” “Jika saya dipanggil ke Demak, sesungguhnya saya menolak, tidak mau jika tidak bersama dengan Yang Mengasuh Jiwa Raga Saya. Sekalipun saya mau, akan tetapi Yang Maha Kuasa tidak mau, bagaimana saya dapat berjalan?” .
13. “Takdir tiada kenal mundur, sebab semuanya itu ada dalam kekuasaan Yang Murba Wasesa, Yang Menguasai segala kejadian.” “Orang mati tiada merasa sakit. Yang merasa sakit itu hidup yang masih mandiri dalam raga. Apabila jiwa saya selesai menjalankan tugasnya, dia akan kembali ke alam aning anung, alam yang tenteram bahagia, aman damai dan abadi. Oleh karena itu saya tidak takut akan bahaya apapun.” .
14. “Menurut pendapat saya, yang disebut ilmu itu ialah segala sesuatu yang tidak kelihatan oleh mata. Umpamanya, Demak dari sini tidak tampak, akan tetapi Demak itu ada. Itulah yang disebut ilmu. Adapun pernyataan yang kedua, di mana tempat hidup itu, jawabannya, hidup itu uninong ananung. Pertanyaan yang ketiga, siapa yang mengajak tidur, jawabannya menurut saya, yang mengajak tidur itu tirta nirmaya.” “Yaitu air hayat kata Arabnya. Air hidup itulah yang dulu dicari Sang Sena dan disebut air prawita dalam bahasa Hindu-Budha. Adapun tempatnya di uning unong uninong aning.” < Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 16-17>.
15. Sesungguhnyalah, saya ini orang mati setiap hari kematian saya berkurang. Berapa lamakah kiranya saya mati di dunia ini. Masih lama lagi hidup saya nanti. Saya tentu kembali hidup. Mati kaya akan dosa dan siksaan neraka yang banyak saya alami ini. Balik kalao besok apabila saya sudah hidup, tiada terhitung kebahagiaan yang saya alami, langgeng untuk selama-lamanya.”
16. ”…yang mengatakan sekarang hidup, besok disebut mati, itu ucapan santri yang terkutuk, ma-buk tobat mengharap-harapkan sesuatu yang belum pasti.” .
17. “Mana ada Hyang Mahasuci? Baik di dunia, maupun di akhirat sunyi. Yang ada saya pribadi. Sesungguhnya besok saya hidup seorang diri tanpa kawan! Di situlah Dzatu’llahu mesra bersatu menjadi saya!”
”Karena saya di dunia ini mati, luar dalam saya sekarang ini, yang di dalam hidupku besok, yang di luar kematianku sekarang.” .
18. “Orang yang ingin pulang ke alam kehidupan tidak sukar, lebih-lebih bagi murid Syekh Siti Jenar, sebab ia sudah paham dan menguasai sebelumnya. Di sini di tahu rasanya di sana, di sana ia tahu rasanya di sini.”
“…Yang disebut mati itu keinginan pribadi. Perihal pulangnya Syekh Siti Jenar ke alam kehidupan, saya bermaksud menyusulnya, hidup bersama dia dalam alam yang tiada terbayangkan. Sebentarlagi saya akan pulang.” .
19. “Tiada bimbang akan manunggalnya sukma, sukma dalam keheningan, tersimpan hati sanubari, terbukalah tirai, tal lain antara sadar dan tidur, ibarat keluar dari mimpi, menyusui rasa jati.” .
Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang
* “Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”
* “Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. .
* “Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi.Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” .
* “Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”
* “Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. .
* “Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi.Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” .
Khotbah Perpisahan Sunan Panggung
“Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan."
“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala."
"Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan....Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari'at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” Malang
“Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan."
“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala."
"Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan....Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari'at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” Malang
Sumirang, Pupuh 4>
Kematian di Mata Sunan Geseng
“Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”
Syari'at Palsu Para Wali
Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan Syari'at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba, pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur'an. Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.”
Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus, rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali mu'min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.”
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus, rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali mu'min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.”
Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
Praktek shalat Tarek Syekh Amongraga
“Guna mencapai keadaan ekstasi Amongraga melakukan shalat Sunat Awabin dengan enam raka'at dan tiga salam. Sesudah itu olah kiparat wawajuh (pemulihan dan terarah kepada Tuhan) dengan dua salam. Sesudah itu ia duduk tidak bergerak. Sambil mempersiapkan diri untuk manunggal dengan Tuhan. Ia melakukan wirid menurut (tarekat) Isbandiah, Satariah, Jalalah, dan Barjah, terserap olehnya. Ia duduk tersimpuh, hati sanubari dan pernapasan dalam keselarasan. Kemudian tiba-tiba ia mengawali dzikirnya dengan kata-kata, la mujuda ilalahu (tak ada sesuatu selain Allah). Dzat yang niscaya ada, itulah yang menjadi pusat perhatiannya, dasar penyangkalan dan pengakuan. Dengan itulah hatinya diselaraskan. Kepalanya mulai bergerak memutar, silih berganti menyanngkal dan mengakui. Pada lingkaran “lam” terakhir kepalanya bergerak dari pusat ke kiri ke atas. Pada ucapan “ilalah” kepalanya bergerak, ke kanan ke atas ke arah bahunya. Pada saat ia berkata “ila” inderanya memsuki penyangkalan tersembunnyi “ilalah” ialah pengakuan gaib di sebelah kiri dadanya. Demikian “nakirah” menjadi paripurna. Kata-kata “la ilaha ilallahu” didaraskannya 50 kali dalam satu pernapasan. Kemudian 300 kali “ilalah” pada pernapasan berikut. Istirahat sebentar, lalu “hu, hu” 1000 kali dalam satu pernapasan panjang. Demikianlah hatinya naik lepas bebas tanpa rintangan, dengan perantaraan dzikir yang fungsinya hanya sebagai sarana. Suara-suara yang dikeluarkannya tidak ada arti lagi. Segalanya diperbolehkan, entah itu aa, ii, uu atau lain sebagainya, terserah apa saja. Kemudian suara-suara itu tiba-tiba lenyap seperti suara orang-orang (yang tiba-tiba hilang seketika). Pada saat yang sama “bata bata dan bentuk” terlepas, artinya badan dan budi mesing-masing berdiri sendiri-sendiri, ia lenyap dan mekrad (mi'raj), terlebur dalam dzat ilahi, badannya tertinggal bagaikan sebatang glodog.”
“Yang ditinggalkan oleh lebah-lebah, kosong. Kalbunya perupakan ketiadaan sejati, kosong, sepi. Tak ada daratan, maupun laut, terang dan gelap tiada lagi. Yang ada hanya itulah yang meliputi batiniah dan lahiriah di alam gaib. Di sanalah usaha Amongraga untuk mencapai kemanunggalan sampai pada titik penghabisan. Tak ada lagi perbedaan, hanya kesamaan dan sempurna, mereka bukan satu bukan dua lagi. Sesudah tarakki menyusullah tanazzu, ia turun dari alam lahir dan batin (wahyu jatmika), ia memandang lagi tetapi bukan dengan matanya, Dzat Yang Mahaluhur. Di sana terdapat empat hal, sifat jalal yang gaib, Keindahan, Kesempurnaan dan Kekuasaan (jamal, kamal, kahar) yang gaib. Sesudah keluar dari keadaan gaib mulailah perbedaan dua jenis, yaitu Gusti dan kawula.”
“Adapun hakikat Gusti itu ialah jalal, kamal, dan jamal, adapun siat-sifat kawula itu ialah ahadiyah, wahda, wahidiya, alam arwah, (alam) agsam, alam mitsal, dan insan kamil. Perbedaan antara Gusti dan kawula ialah perbedaan antara dua jenis sifat-sifat itu, kecuali bagi manusia yang istimewa (linuhung) yang sudah mengetahui ilmu sejati. Sesudah ekstasinya lewat, ia menyerupai sebutir telur yang jatuh di atas sebuah batu, demikian rasa terkejut di dalam hatinya ketka kembali dalam keadaan makhluk dan melihat kembali keterbatasannya selaku seorang hamba (kawula).Sesudah kemanunggalannya dengan Tuhan larut, ia bernapas panjang sambil mengucapkan satu kali syahadat, la ilaha ilalah, kemudian memanjatkan doa syukur.”
Pertanyaan Hakikat Hidup Warisan Syekh Siti Jenar
Apa sebab kamu mengenakan hidup? Asal muka kehidupan itu dari mana/apa? Sebelum berjuta-juta tahun, sekarang berwujud hidup ini. Dari siapakah hidup ini?
Pertanyaan yang kedua. Kamu dikatakan hidup, mengenakan tidur. Siapa yang mengajak tidur? Selama kamu tidur terkadang kamu bermimpi kadangkala tidak.
Jawablah pertanyaan ini dengan jelas.
Pertanyaan yang ketiga, Apa sebab orang mati? Dalam alam kematian ada apa?
Pertanyaan yang keempat. Apabila kamu telah mati, apakah besok kamu akan kembali menjadi bayi, apakah tetap di sana saja? .
Aji Pameling (Ilmu Keheningan) Syekh Siti Jenar
Maksud dan pengertian Semedi atau Laku Hening. Maksud dari aji adalah ratu/raja, pameleng adalah pasamaden (laku semedi, hening), memiliki pengharapan sebagai tanda keinginan yg paling luhur. Adapun jenis perbuatannya disebut dengan manekung, pujabrata, mesu budi, mesu cipta, mengheningkan, atau meluhurkan pandangan, matiraga dan sejenisnya.
Tempat yang digunakan untuk melaksanakan laku tersebut adalah panepen, penekung, sanggar pemujan, pamurcitan, pahoman, paheningan dan lain-lain. Sedangkan uraian pengetahuan disebut daiwan, dawan, tirta-amerta, tirtakamandhanu, tirtanirwala, mahosadi, kawasanan, kawaspadaan, kawicaksanaan, sastracetha, atau sastrajendrayuningrat pangriwating-diyu dan sebagainya.
Adapun kegunaan pengetahuan dan lelaku di atas, perlu digunakan sebagai sarana menyembah untuk mendapatkan kawilujengan (keselamatan disertai kesejahteraan, kedamaian, dan ketentraman), sebab dengan begitu dapat melaksanakan segala sesuatu perbuatan yang baik, ataupun sebagai sarana ketika kita memiliki keinginan mewujudkan anugerah hidup kita pribadi (Pangeran), juga meminta apapun yang lumrah bisa dilaksanakan sesuai dengan kemampuan kita melaksanakannya dengan tidak meninggalkan kehati-hatian.
Asal Mula Ilmu Hening
Adapun permulaan datangnya pengetahuan pasamaden di dunia ini, menurut tata bahasanya, banyak yang memakai bahasanya, banyak yang memakai bahasa sansekerta. Jadi dengan demikian, berarti mulanya pengetahuan pasamaden berasal dari kebijaksanaan bangsa Hindu pada zaman kuno, yang sudah tidak diketahui hitungan ribuan tahunnya. Kemungkinan saja tersebarnya pengetahuan (Kawruh) pasamaden bersamaan dengan ketika bangsa Hindu mulai membuat Candi-candi beserta arca-arcanya. Semula, pengetahuan itu hanya untuk bangsa Hindu (India) yang beragama apa saja, pasti ditentukan memakai dan menghayati pasamaden. Sebab hanya dengan pengetahuan pasamaden itulah yang menjadi permulaan pengetahuan semesta, dan juga menjadi pengajaran agama paling utama.
Lama-kelamaan, bangsa India dengan Hindunya menyebar sampai ke Tanah Jawa dan sebagainya, termasuk penyebaran agama beserta pengetahuan-pengetahuan yang lain, termasuk pengetahuan pasamaden. Kawruh pasamaden di Tanah Jawa dapat berkembang pesat, sebab orang Jawa tidak memandang derajad, sudah senang dan akrab dengan laku puruta (Pasamaden), dan dapat menerapkan pengolahan pengetahuan itu, sebab dengan kawruh itu dapat cocok dengan dasar-dasar batin dan rohani orang Jawa. Sehingga dengan mudah segera merasuk ke dalam tulang sumsum orang Jawa. Ditambah lagi bahwa kemudian banyak orang India dan Hindu yang menjadi Jawa menyebarkan ajaran agama dan pengetahuan olah rohani, serta ilmu kebijaksanaan (kawicaksanaan). Ibarat sekejapan mata, bangsa Jawa di semua pelosok memeluk agama Hindu, dan juga, dengan kawruh pasamaden dan kawicaksanan, sudah merasakan keberuntungan, kemuliaan, kebahagiaan, dan sebagainya, sebab dari buah pengetahuan lelaku hening tersebut.
Kemudian datanglah orang-orang bangsa Arab yang masuk di Pulau Jawa, yang membawa pengetahuan dan agama yang disiarkan Nabi Muhammad, yang disebut agama Islam, yang mengurangi pengaruh agama Hindu, disebabkan oleh bapaknya orang yang memeluk Islam. Hanya saja penyebaran agama Islam tidak membawa dan tidak mengandung ilmu pasamaden seperti yang disebutkan di atas.
Perseteruan Ilmu Hening dengan Kerjaan Demak
Setelah kelompok orang Islam dapat mendirikan Negara, yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Bintoro ( Demak ), Kemudian muncul larangan keras bagi orang Jawa tidak boleh menerapkan pengetahuan pasamaden, demikian juga , diharuskan untuk meninggalkan agama lama, dan harus masuk Islam.
Akan tetapi, walau demikian, tidak serta merta bangsa Jawa kemudian mau secara sukarela memeluk Islam semua, kemauan memeluk Islam itu lebih disebabkan karena takut hukuman pejabat Negara ( Sultan ). Jadi Islam nya hanya berada pada tataran permukaan, atau Islam pengaran – aran ( Islam KTP ), sedangkan secara batin dan perilaku masih tetap memegang kepercayaan lama. Maka masalah pengetahuan pasamaden tetap banyak dilaksanakan, hanya saja pengajaran dan penyebaran ilmu pasamaden yang dinamakan wejangan ( wijang-wijang ) dilaksanakan secara diam-diam, sedangkan pelaksanaan laku hening dilakukan pada tengah malam, serta tempat pelaksanaannya bukan pada tempat terbuka, seperti tanah lapang, hutan, sungai dan sebagainya tempat yang sepi. Wejangan diberikan secara berbisik, tidak boleh didengar orang lain, termasuk rumput dedaunan, hewan, sebangsa gegremetan ( melata ), kutu, wereng dan sebagainya. Oleh karena itu posisi duduk guru berhadap-hadapan langsung dengan mengadu jidat dengan para murid. Sedangkan bagi guru harus betul-betul berwasiat agar para murid tidak boleh menularkan wewejangan pengetahuannya kepada orang lain, kalau belum diberikan izin guru, kalau melanggar akan mendapatkan akibat kemurkaan Pangeran. Tindakan seperti itu pada mulanya hanya digunakan untuk menjaga diri dan hati-hati, agar pengajaran ilmu tersebut tidak ketahuan oleh pejabat pemerintahan. Sebab kalau ketahuan akan mendapatkan hukuman.
Pola Pengajaran Ilmu Hening
Sampai pada zaman sekarang, walaupun Negara sudah tidak mengharu-biru terhadap wewarahan pasamaden, namun tindakan memberikan pelajaran secara sembunyi-sembunyi masih tetap dilestarikan. Oleh karena itu, kemudian pengetahuan pasamaden diberikan sebutan oleh mereka yang tidak menyukai ilmu pasamaden, atau orang Islam yang hanya menerapkan syaria’at Islam saja, sebagai Ilmu klenik. Setelah muncul istilah ilmu klenik, kemudian dibuat sekarang dengan istilah abangan dan putihan. Yang disebut abangan adalah mereka yang tidak melaksanakan syariat Islam secara ketat, sedangkan istilah putihan digunakan bagi mereka yang memeluk Islam secara ketat serta melaksanakan aturan syariatnya, yang juga disebut dengan nama Santri. Oleh karena itu santri disebut putihan, karenan menurut anggapan orang-orang Islam, santri dalam segala sesuatu merasa lebih bersih atau suci dibanding orang yang tidak memeluk dan melaksanakan aturan agama Islam.
Kembali kepada masalah pengetahuan pasamaden yang penuh dengan kerahasiaan, karena yang menjadi sebab telah diutarakan diatas. Tetapi sebetulnya, yang dinamakan rahasia-rahasia tersebut memang tidak ada. Jadi boleh saja diajarkan kepada semua orang, siapa saja, tidak memandang tua muda, dan boleh diwejangkan sewaktu-waktu, asal memang orang tersebut membutuhkan pengetahuan pasamaden tersebut. Sebab adanya semua itu perlu agar bisa diketahui oleh orang banyak, lebih-lebih pengetahuan pasamaden itu senyatanya memang pembuka semua pengetahuan. Maka wajib disebarluaskan kepada semua lapisan masyarakat tua muda, tanpa memandang tinggi rendahnya derajat.
Syekh Siti Jenar : Bapak Ilmu Hening Jawa
Bersamaan dengan berkembangnya masa, kemudian terjadi keelokan dari ilmu laku yang tidak disangka-sangka. Dikemudian hari pengetahuan pasamaden tadi muncul diterima oleh kalangan orang Islam, sebab yakin kalau pengetahuan pasamaden tersebut memang menjadi mustikanya keinginan dan cita-cita yang dapat mendatangkan keselamatan, kemuliaan, ketenteraman dan hal-hal semacamnya. Oleh karena itu pengetahuan tadi oleh orang-orang yang sudah mendapatkan pencerahan batin yaitu Syekh Siti Jenar, yang juga menjadi pembimbing agama Islam berpangkat wali, kemudian tercantum didalam karya seratnya, yang kemudian disebut dengan daim, yang berasal dari kata daiwan yang disebut diatas. Kemudian juga menjadi bagian dari sarana manembah (penyembahan), sambil diberi tambahan julukannya, kemudian muncul istilah shalat daim ( shalat bahasa Arab, daim dari kata daiwan bahasa Sansekerta ). Adapun kemudian ditambahi istilah Arab, hanya untuk perhatian untuk mengukuhkan keyakinan murid-muridnya yang sudah meresapi agama Islam. Juga perkataan shalat kemudian terpilah menjadi dua perkara. Pertama, shalat lima waktu, yang disebut shalat Syariat, maksudnya adalah panembah lahir. Kedua, shalat daim, itu adalah panembah batin, maksudnya adalah menekadkan ( meng -I’tikadkan) manunggalnya pribadi, atau disebut pula loroning atunggal ( dua yang menyatu [Kawula-Gusti, Ingsun-Gusti] ).
Kitab karangan Syekh Siti Jenar tersebut kemudian digunakan sebagai pokok pengajaran. Kemudian setelah mendapatkan perhatian orang banyak, sholat lima waktu dan syara agama yang lain kemudian terpinggir, bahkan kemudian tidak terajarkan sama sekali. Yang menjadi perhatian hanya lelaku shalat daim saja. Maka orang jawa yang semula memeluk Islam, apalagi yang belum, hampir semuanya berguru kepada Syekh Siti Jenar, karena pengajarannya lebih mudah, jelas, dan nyata.
Sesudah Syekh Siti Jenar mengajarkan pengetahuan pasamaden, sebagai teman diskusi dan bertukar pikiran adalah Ki Ageng Pengging, yang kemudian menjadi muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah mitra dalam kebaikan dari Ki Ageng Pengging, yang kemudian menjadi muridnya, dikarenakan Syekh Siti Jenar adalah mitra dalam kebaikan dari Ki Ageng Pengging. Pengetahuan pasamaden oleh Syekh Siti Jenar juga diajarkan kepada Raden Watiswara, atau Pangeran Panggung, yang juga berpangkat wali. Kemudian juga diajarkan kepada Sunan Geseng, atau Ki Cakrajaya, yang semula bekerja menderas kelapa, (menjadi murid Sunan Kalijaga, termasuk anggota walisanga yang ikut menyaksikan dihukum matinya Syekh Siti Jenar, lalu berguru kepada Sunan Panggung). Asalnya dari Pagelen (Purworejo). Kemudian ajaran tersebut menyebar diamalkan oleh orang banyak. Demikian juga sahabat-sahabat Syekh Siti Jenar yang sudah terbuka rasanya oleh Syekh Siti Jenar kemudian mendirikan perguruan-perguruan pengetahuan pasamaden. Semakin lama semakin berkembang pesat, sehingga menyuramkan pengaruh dan penguasaan agama para wali yang sedang giat-giatnya menyerbarkan Islam syara’. Seandainya gerakan itu dibiarkan oleh para wali, terdapat kekhawatiran masjid akan kosong.
Pembantaian Terhadap Penganut Ajaran Syekh Siti Jenar
Agar tidak terjadi hal yang demikian, maka Ki Ageng Pengging, Syekh Siti Jenar serta murid dan sahabatnya dijatuhi hukuman mati dengan dipenggal lehernya, dengan perintah Sultan Demak. Demikian juga Pangeran Panggung tidak ketinggalan, dipidana dimasukan kedalam bara api hidup-hidup di alun-alun Demak, sebagai peringatan agar msyarakat merasa takut, dan kalau sudah takut mereka mau membuang ajaran Syekh Siti Jenar. Diceritakan Pangeran Panggung tidak mempan oleh amuk api, dan kemudian melompat keluar dari dalam api, meninggalkan Demak. Sultan Bintara dan segenap para wali terbengong-bengong dan terkagum-kagum serta terpengaruh kewibawaan serta kesaktian Sunan Panggung, hanya kamitenggengen ( terdiam) seperti tugu. Sesudah sementara waktu, Pangeran Panggung sudah jauh, Sultan dan para wali baru ingat jika Sunan Panggung sudah pergi dari tempat pidana, serta merasa kalah. Disertai dengan banyak prajurit Sunan Geseng atau Ki Cakrajaya pergi menyusul sunan Panggung. Sultan Demak tidak mampu menahan marah, dan melampiaskan kemarahannya, sahabat serta murid-murid Syekh Siti Jenar yang bisa ditangkap dibantai. Dilakukan pengejaran besar-besaran terhadap semua orang yang dicurigai pernah mengenyam ajaran Syekh Siti Jenar. Sebagian pengikut yang tidak tertangkap pergi meninggalkan Demak mencari selamat.
Para sahabat dan murid yang masih hidup, masih tetap melestarikan ajaran dan eprguruan Syekh siti Jenar tentang pengetahuan pasamaden, tetapi kemudian dibalut dengan pengajaran syariat Islam, agar tidak diganggu gugat oleh para wali yang menjadi alat Negara.
Ajaran Pasamaden ( Olah Hening )
Adapun sebagian ajarannya adalah sebagai berikut. Pengajaran pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut shalat daim, dirangkapkan dengan pengajaran shalat lima waktu serta rukun-rukun Islam yang lain-lainnya. Pengajaran shalat daim itu disebagian kalangan disebut wiridan (tarekat) naksyabandiyah, sedangkan lelaku pengajarannya disebut tafakur. Sebagian ada yang dalam pengajarannya, sebelum murid menerima pengajaran shalat daim, terlebih dahulu dilatih dengan dzikir dan wirid membaca ayat-ayat suci. Oleh karena itu pengajaran pasamaden kemudian terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Pengajaran pasamaden atau wewiridan dari para sabahat Syekh Siti Jenar, yang disertai dengan pengajaran syara’ rukun agama Islam. Pengajaran tadi sampai sekarang ini sudah meleset dari ajaran pokok semula, karena itu para guru sekarang, yang mempraktikan pengetahuan pasamaden, yang diberi nama (tarekat) naksabandiyah atau Syatariyah mengira bahwa pengetahuan dan wewiridan tersebut berasal dari ulama di jabalkuber ( Hijaz, Mekkah). Kemudian para Kiai dan Guru tadi melaksanakan pengetahuan pasamaden menurut ajaran Jawa yang berasal dari pengajaran Syekh Siti Jenar. Atau juga para guru dan kiai tadi senang memberikan sebutan Kiniyai, yang mengandung maksud, guru yang mengajarkan ilmu setan, Sedang nama Kiai, adalah guru yang mengajarkan ilmu para nabi.
2. Pengajaran pasamaden menurut Jawa, buah dari Ki Ageng Pengging, yang tadinya dipancarkan dari pengetahuan Syekh Siti Jenar ( yang kemudian diberikan peraban/sebutan klenik), yaitu yang semula menjadi pembuka pengajaran, terletak pada pengelolaan perwatakan lima hal, yaitu:
a. Setya Tuhu ( kesetiaan dan ketaatan) atau temen ( bersungguh-sungguh) dan jujur.
b. Teguh-sentausa, adil dalam segala hal, bertanggung jawab dan tidak berkhianat.
c. Benar dalam segala perilaku dan perbuatan, sabar dan berbelas kasih kepada sesama, tidak menonjolkan atau membangga-banggakan diri, jauh dari watak aniaya.
d. Pandai dalam segala pengetahuan, lebih-lebih pandai dalam membuat enak perasaan sesama, ataupun juga pandai menahan dan mengendalikan rasa amarah dan jengkelnya perasaan pribadi, tidak memiliki prinsip melik nggendhong lali ( kalau sudah punya dan sudah enak lupa akan asalnya ), hanya karena pengaruh harta benda yang gemerlapan.
e. Susila anor-raga, selalu memelihara tata karma, mengendalikan akibat penglihatan ( apa yang dilihat ) dan pengaruh pendengaran ( apa yang didengar ) kepada pihak yang terkena.
Lelaku lima hal tadi harus dilaksanakan beserta iringan puja-brata dengan melaksanakan laku semedi, yaitu amesu ciptamengheningkan teropong penglihatan ( mubasyirah ). Oleh karena itu bagi pengamalan agama Jawa, bab mengenai pengetahuan pasamaden serta lelaku lima perkara diatas harus diajarkan kepada semua orang, tua muda tanpa memilih rendah tingginya derajat orang. Karena itu dengan sebab mustikanya pengetahuan atau luhur-luhurnya kemanusiaan, ini apalagi tetap semedi-nya, mampu menjalankan lima hal yang sudah disebutkan diatas. Oleh karena kita tinggal disuasana ketentraman, sedangkan keadaan tentram menyebabkan makmur-sejahtera dan kemerdekaan kita bersama. Kalau tidak demikian, sampai rusaknya dunia, kita akan tetap menanggung derita, papa dan terhina, tergilas oleh roda perputaran dunia, karena kesalahan dan terkhianati oleh perasaan kita pribadi.
Praktik Ilmu Hening Cara Jawa dan Ilmu Kasunyatan
Bab pengetahuan pasamaden yang kemudian disebut Naksyabandiyah dan Syatariyah, yang kemudian disebutkan sebagai wewiridan dari Syekh Siti Jenar, sudah dijelaskan diatas, hanya saja aplikasinya tidak dijelaskan secara rinci. Disini hanya akan menjelaskan lelaku aplikatif terhadap semedi secara Jawa, yang belum terpengaruh oleh agama apapun, yaitu seperti dibawah ini.
Para pembaca, agar jangan keliru atau salah terima, apabila ada anggapan bahwa semedi ini menghilangkan rahsanya hidup atau nyawa ( hidupnya ) keluar dari badan wadag. Penerimaan seperti itu, pada mulanya berasal dari cerita perjalanan Sri Kresna di Dwarawati, atau sang Arjuna ketika angraga-sukma. Agar diperhatikan, bahwa cerita seperti itu tetap hanya sebagai persemuan atau perlambang (symbol, bukan hal atau cerita yang sebenarnya). Adapun uraian mengenai lelaku semedi sebagai berikut. Istilah semedi sama dengan sarasa, yaitu rasa-tunggal, maligini rasa (berbaur berjalannya rasa), rasa jati, rasa ketika belum mengerti. Adapun matangnya perilaku atau pengolahan (makarti) rasa disebabkan dari pengelolaan atau pengajaran, ataupun pengalaman-pengalaman yang terterima atau tersandang pada kehidupan keseharian. Olah rasa itulah yang disebut pikir, muncul akibat kekuatan pengelolaan, pengajaran atau pengalaman tadi. Pikir lalu memiliki anggapan baik dan jelek, kemudian memunculkan tata-cara, penampilan dan sebagainya yang kemudian menjadi kebiasaan (pakulinan /adat ). Apapun anggapan baik-buruk, yang sudah menjadi tata cara disebabkan telah menjadi kebiasaan itu, kalau buruk, ya betul-betul buruk, dan kalau baik, ya memang baik sesungguhnya. Dan itu semua belum tentu, karena semua itu hanyalah kebiasaan anggapan. Adapun anggapan (penganggep), belum pasti, tetap hanya menempati kebiasaan tata cara (adat), jadi ya bukan kesejatian dan bukan kenyataan (real).
Apa yang dimaksudkan semedi disini, tidak ada lain kecuali hanya untuk mengetahui kesejatian dan kasunyatan. Adapun sarananya tidak ada lagi kecuali hanya mengetahui atau menyilahkan anggapan dari perilaku rasa, yang disebut hilang-musnahnya papan dan tulis. Ya disitu itu tempat beradanya rasa-jati yang nyata, yang pasti, yang melihat tanpa ditunjukan (weruh tanpa tuduh). Adapun terlaksananya harus mengendalikan segala sesuatunya ( hawa nafsu dan amarah ), disertai dengan membatasi dan mengendalikan perilaku (perbuatan anggota badan). Pengendalian anggota tadi, yang lebih tepat adalah dengan tidur terlentang, disertai dengan sidhakep (tangan dilipat didada seperti takbiratul ihram, atau seperti orang meninggal) atau tangan lurus kebawah, telapak tangan kiri kanan menempel pada paha kiri kanan, kaki lurus, telapak kaki yang kanan menumpang pada tapak kaki kiri. Maka hal itu kemduian disebut dengan sidhakep suku(saluku) tunggal. Ataupun juga dengan mengendalikan gerakan mata, yaitu yang disebut meleng. Lelaku seperti itu dilakukan bagi yang kuasa mengendalikan gerak-bisik cipta (gagasan, ide, olah pikir), serta mengikuti arus aliran rahsa, adapun pancer-nya (arah pusat) penglihatan diarahkan dengan memandang pucuk hidung, keluar dari antara kedua mata, yaitu di papasu, adapun penglihatannya dilakukan harus dengan memejamkan kedua mata.
Selanjutnya adalah menata keluar masuknya napas, seperti berikut, Napas ditarik dari arah pusar, digiring naik melebihi pucuk tenggorokan hingga sampai di suhunan (ubun-ubun), kemudian ditahan beberapa saat. Proses penggiringan atau pengaliran napas tapi ibarat memiliki rasa mengangkat apapun, adapun kesungguhannya seperti yang kita angkat, itu adalah mengalirnya rasa yang kita pepet dari penggiringan nafas tadi. Kalau sudah terasa berat penyanggaan ( penahanan) napas, kemudian diturunkan secara pelan-pelan. Lelaku seperti itu yang disebut sastra-cetha. Maksudnya sastra adalah tajamnya pengetahuan, cetha adalah mantapnya suara dipita suara (cethak), yaitu cethak (diujung dalam dari lidah) mulut kita. Maka disebut demikian, ketika kita melaksanakan proses penggiringan napas melebihi dada kemudian naik lagi melebihi cethak hingga sampai ubun-ubun. Kalau napas kita tidak dikendalikan, jadi kalau hanya menurutkan jalannya napas sendiri, tentu tidak bisa sampai di ubun-ubun, sebab kalau sudah sampai tenggorokan langsung turun lagi.
Apalagi yang disebut daiwan ( dawan ), yang memiliki maksud : mengendalikan keluar masuknya napas yang panjang lagipula disertai dengan sareh (kesadaran penuh dan utuh), serta mengucapkan mantra yang diucapkan dalam batin, yaitu ucapan “hu” disertai dengan masuknya napas, yaitu penarikan napas dari pusar naik sampai ubun-ubun. Kemudian “Ya” disertai dengan keluarnya nafas, yaitu turunnya nafas dari ubun-ubun sampai pada pusar; naik turunnnya nafas tadi melebihi dada dan cethak (pita suara). Adapun hal itu disebut sastra – cetha. Karena ketika mengucapkan dua mantra sastra: “hu-ya”, keluarnya suara hanya dibatin saja, juga kelihatan dari kekuatan cethak (tenggorokan). (Ucapan dan bunyi mantra atau dua penyebutan ; “hu-ya” pada wirid Naksyabandiyah berubah menjadi ucapan; “hu-Allah”, penyebutannya juga disertai dengan perjalanan nafas. Adapun wiridan Syatariyah, penyebutan tadi berbunyi; [ la illaha illa Allah], tetapi tanpa pengendalian perjalanan nafas.)
Untuk masuk keluarnya nafas seperti tersebut diatas, satu angkatan hanya mampu mengulangi tiga kali ulang, walau demikian, karena nafas kita sudah tidak sampai kuat melakukan lagi, karena sudah berat rasanya ( menggeh-menggeh / ngos-ngosan ). Adapun kalau sudah sareh (sadar-normal), ya bisa dilaksanakan lagi, demikian seterusnya sampai merambah semampunya, karena semakin kuat tahan lama, semakin lebih baik. Adapun setiap satu angkatan lelaku tadi disebut tripandurat, maksudnya tri = tiga, pandu = Suci, rat = Jagat = Badan = Tempat. Maksudnya adalah tiga kali nafas kita dapat menghampiri jagat besar Yang Maha Suci bertempat didalam suhunan ( yang dimintai ). Yaitulah yang dibahasakan dengan pawirong kawulo Gusti, maksudnya kalau nafas kita pas naik, kita berketempatan Gusti, dan ketika turun, kembali menjadi kawula. Tentang masalah ini, para pembaca hendaklah jangan salah terima! Adapun maksud disebutnya kawula-Gusti, itu bukanlah nafas kita, akan tetapi daya ( kekuatan ) cipta kita. Jadi olah semedi itu, pokoknya kita harus menerapkan secara konsisten, membiasakan selalu melaksanakan keluar-masuk dan naik-turunnya nafas, disertai dengan mengheningkan penglihatan, sebab pengliahatan itu terjadi dari rahsa.
Seperti telah
diketahui banyak orang, Syekh Siti Jenar merupakan wali tanah jawa yang paling
nyentrik (unique). Ajaran-ajarannya cukup controversial dibandingkan dengan
ajaran islam sebagaimana umumnya dipahami masyarakat. Syekh Siti Jenar
menempatkan Islam bathini atau hakiki (esoteris) memiliki kedudukan seimbang
dengan Islam dzahiri atau syar’I (eksoteris). Bahkan kemudian ada kesan
aspek syari’at tidak diperhatikan.
Jelas kesimpulan ini salah. Sebagaimana tampak dalam berbagai wejangan mistik dan ajaran-ajarannya, Syekh Siti Jenar tidak menihilkan syariat. Hanya saja dia juga tidak mau umat Islam terjebak dalam formalisme syariat, sehingga agama tidak lagi memiliki makna utuh bagi kehidupan manusia, baik didunia maupun dialam kehidupan sejati.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah, tuduhan ( yang sebenarnya berasal dari para peniliti Belanda) bahwa ajaran Syekh Siti Jenar merupakan pertempuran antara Kejawen dan Islam (struggle between Javanism and Islam), dimana ajaran Syekh Siti Jenar dituduh sebagai rekayasa budaya untuk menyerang Islam. Repotnya lagi, analisis negative ini dikembangkan, bahwa corak perlawanan budaya Jawa bersifat struggle form with in ( gerilya dari dalam). Jadi Islamnya orang Jawa dituduh hanya sebagai siasat dan strategi budaya untuk melumpuhkan Islam dari dalam. Tuduhan ini bermula dari artikel G.W.J Drewes dan Th. Pigeaud, yang kemudian menjadi acuan bagi kebanyakan peneliti Islam dan Jawa. Mungkin jika tuduhan itu dialamatkan khususnya pada Serat Darmogandul sebagai basis penelitian, dan lebih lagi pada Serat Gatoloco, agak ada benarnya. Namun jika tuduhan itu dialamatkan kepada ajaran Syekh Siti Jenar (dan ini kesimpulan mereka) sangatlah tidak benar.
Dari segi perkembangan sejarahnya, antara budaya Jawa dan Islam tidak pernah terjadi perbenturan. Bahkan antara keduanya saling mengisi, saling melengkapi membentuk system peradaban baru yang bisa saja disebut sebagai Islam-Jawa. Justru kebudayaan Jawa banyak sekali (dominan) menyerap peradaban Islam, yang secara kreatif disinergikan menjadi budaya Jawa.
Jelas kesimpulan ini salah. Sebagaimana tampak dalam berbagai wejangan mistik dan ajaran-ajarannya, Syekh Siti Jenar tidak menihilkan syariat. Hanya saja dia juga tidak mau umat Islam terjebak dalam formalisme syariat, sehingga agama tidak lagi memiliki makna utuh bagi kehidupan manusia, baik didunia maupun dialam kehidupan sejati.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah, tuduhan ( yang sebenarnya berasal dari para peniliti Belanda) bahwa ajaran Syekh Siti Jenar merupakan pertempuran antara Kejawen dan Islam (struggle between Javanism and Islam), dimana ajaran Syekh Siti Jenar dituduh sebagai rekayasa budaya untuk menyerang Islam. Repotnya lagi, analisis negative ini dikembangkan, bahwa corak perlawanan budaya Jawa bersifat struggle form with in ( gerilya dari dalam). Jadi Islamnya orang Jawa dituduh hanya sebagai siasat dan strategi budaya untuk melumpuhkan Islam dari dalam. Tuduhan ini bermula dari artikel G.W.J Drewes dan Th. Pigeaud, yang kemudian menjadi acuan bagi kebanyakan peneliti Islam dan Jawa. Mungkin jika tuduhan itu dialamatkan khususnya pada Serat Darmogandul sebagai basis penelitian, dan lebih lagi pada Serat Gatoloco, agak ada benarnya. Namun jika tuduhan itu dialamatkan kepada ajaran Syekh Siti Jenar (dan ini kesimpulan mereka) sangatlah tidak benar.
Dari segi perkembangan sejarahnya, antara budaya Jawa dan Islam tidak pernah terjadi perbenturan. Bahkan antara keduanya saling mengisi, saling melengkapi membentuk system peradaban baru yang bisa saja disebut sebagai Islam-Jawa. Justru kebudayaan Jawa banyak sekali (dominan) menyerap peradaban Islam, yang secara kreatif disinergikan menjadi budaya Jawa.
Dengan strategi inilah justru kehadiran Islam, yang ternyata sudah banyak dianut masyarakat pedalaman Majapahit diterima oleh masyarakat pedalaman Jawa. Sedikit gejolak dan perbenturan justru terjadi pada masa awal Kerajaan Demak, dikarenakan Kerjaan Demak menerapkan Islam formal berbasis pada aturan ketat fiqih sebagai agama resmi Negara. Seorang intelektual Islam-Jawa, Soebardi membantah sinyalemen para peneliti Belanda, bahwa kalaupun Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya banyak dihukum mati, hal ini bukan karena mereka menjadi musuh Islam. Yang terjadi hanyalah karena mereka menyebarkan ajarannya yang bertentangan dengan paham resmi kerajaan.
Sedangkan dari segi ajarannya, justru banyak yang menunjukan rasa simpati dan bahkan membenarkan pendapat-pendapat Syekh Siti Jenar. Sehingga dalam Serat Centini diceritakan, bahwa setelah tiga hari wafatnya, para wali melihat jenazah Syekh Siti Jenar masih utuh, bagus, dan berbau harum. Pada saat itulah, dari jenazah tersebut terdengar suara ucapan salam dan ungkapan selamat tinggal. Syekh Siti Jenar juga mendoakan para wali dan Sultan agar mendapat barakah dan hidayah sepeninggalnya.
Syekh Siti Jenar menampilkan versi Islam yang sejiwa dengan kebudayaan dan peradaban masyarakat yang berkembang. Oleh karenanya beberapa aspek ajaran Islam, yang di TimurTengah menjadi bahasan pokok keagamaan, oleh Syekh Siti Jenar justru kurang dijadikan materi pokok bagi ajarannya, misalnya tentang hari kebangkitan dan surga serta neraka. Ini bukan berarti bahwa Syekh Siti Jenar menolak kenyataan adanya surga dan neraka, serta keberadaan akhirat.
Namun ada tiga alasan pokok mengapa Syekh Siti Jenar tidak menjadikan keimanan kepada hari akhirat sebagai bagian pokok ajarannya. Pertama, kepercayaan akan adanya surga dan neraka sebagai puncak keimanan hari akhir, bukanlah hal baru bagi agama Islam, sebab semua agama dan kepercayaan kuno juga mengajarkannya. Demikian pula masyarakat Indonesia saat itu, sudah tidak asing lagi dengan berbagai mitologi tentang surga dan neraka. Oleh karenanya kekurang-yakinan masyarakat Jawa pada saat itu terhadap Islam Formal, karena mereka mendapatkan bahwa nasib dan keadaan mereka akan sama saja, baik dunia maupun akhirat, apakah dengan memeluk Islam atau tetap pada kepercayaan lama. Toh Islam juga penuh dengan mitologi eskatologis ( hari akhirat yang tidak dapat dibuktikan). Dalam hal inilah Syekh Siti Jenar memberikan makna baru tentang akhirat dan surga-neraka sebagai yang riil sejak manusia ada di dunia.
Kedua, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa alam akhirat dengan surga dan nerakanya hanyalah mahluk sebagaimana manusia. Sedangkan tempat kembali manusia yang sesungguhnya adalah Allah, darimana ia sebenarnya berasal (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un; sesungguhnya semua berasal dari Allah, dan hanya kepada-Nyalah semua kembali; Allah iku sangkan paraning dhumadi). Manusia yang sudah manunggal (sampurna al-insan al-kamil) akan langsung kembali kepada Allah, tidak melewati alam lintasan yang disebut akhirat. Sebab alam akhirat (sejak dari alam barzakh sampai neraka dan surga) sebenarnya hanyalah alam lintasan, untuk menyempurnakan roh bagi manusia yang saat mengalami kematian masih belum mencapai kasampurnan. Oleh karena itu, segala bentuk kenikmatan fisik itu, termasuk surga sekalipun, bagi Syekh Siti Jenar tetap dianggap sebagai “penderitaan”.
Sebagaimana banyak dikemukakan oleh Al-Qur’an sendiri, konsepsi surga dan neraka masih berkutat pada konteks jisim, yakni pencukupan kenikmatan dan siksaan jasmaniah, dengan fungsi utama menyempurnakan roh manusia. Dari kedua alam lintasan itulah roh disempurnakan lagi tahap demi tahap menuju kesempurnaannya. Sama dengan proses kematiaan yang terjadi pada manusia. Bagi orang yang sudah mencapai ilmu kasampurnan, proses kematiannya telah dipersiapkan sesempurna mungkin, baik waktu, tempat serta bagaimana ia menempuh kematian, dan arah selanjutnya kemana sudah jelas, sesuai dengan “kesepakatan” iradah dan kodrat antara kawula-Gusti.Disini kematian termasuk dalam kodrat Pribadi.
Sementara orang yang belum mencapai ilmu kasampurnan, proses kematiannya “dipaksakan”, yakni Allah mengutus malaikat pencabut nyawa untuk “memaksa” mengeluarkan roh dari jasad orang tersebut. Kematian jenis inilah yang masih mengharuskan orang tersebut menempuh berbagai lintasan-lintasan kehidupan pasca pengalaman kematiannya , guna mencapai kesempurnaan. Kalaupun nantinya memperoleh kesempurnaan, maka Kasampurnan yang diperoleh tentu tidak “sesempurna” manusia yang sejak awalnya sudah mencapai kasampurnan. Kalaupun nantinya memperoleh kesmperunaan, maka kasampurnan yang diperoleh tentu tidak “sesempurna” manusia yang sejak awalnya sudah mencapai kasampurnan.
Ketiga, alam akhirat bukanlah sejenis pengetahuan yang hanya diimani begitu saja. Alam akhirat yang sejati adalah alam kemanunggalan, bukan surga dan neraka. Demikian pula teologi tentang kiamat bagi Syekh Siti Jenar bukanlah penting, sebab kiamat sudah terjadi sejak manusia lahir didunia ini, yang disebut Syekh Siti Jenar sebagai alam kematian. Maka didunia ini pula manusia harus mampu bangkit sebagai pribadi., dengan menemukan sang Ingsun Sejati agar meraih kemanunggalan. Dalam teologi Syekh Siti Jenar, kiamat dan alam akhirat bukanlah hal substansial, tegasnya lagi tidak termasuk dalam rangka rukun keimanan.
Lalu bagaimana Syekh Siti Jenar memahami mengamalkan konsep Rukun Iman dan Rukun Islam?
Sebagaimana sudah diketahui dari ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar dalam buku ini, teologi Syekh Siti Jenar bercorak aplikatif dan lintas madzhab atau paham keagamaan tertentu. Teologinya merupakan ramuan dari ajaran keagamaan, Islam terapan, kebudayaan dan peradaban yang berkembang dalam lokus masyarakat tertentu, dan yang lebih penting lagi, agama yang menyejarah berbasis pada pengalaman spiritual yang nyata.
Maka dalam mempelajari dan memahami ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar dalam buku inipun, harus bersifat integrative dan sinergis, tidak bisa saling dipisahkan. Mempelajari ilmu dan pengetahuan (belajar), melatih diri, dan mengalami adalah prinsip dasar agama Islam yang sesungguhnya
Dalam teologi
Syekh Siti Jenar, Rukun Islam juga dipahami dari sudut ilmiah, amaliah, dan
empiric. Antara nalar rasional, aplikasi perbuatan, dan spiritualitas
menyatu-padu dalam satu pribadi.
Syahadat memiliki substansi watak temen (bersungguh-sungguh, konsisten, disiplin, beretos tinggi). Ukuran utamanya adalah pada pembicaraannya, yaitu nuhoni ( selalu sesuai, benar, jujur, tidak pernah menyimpang) dalam hal pembicaraannya. Itulah yang disebut tetapnya syahadat. Antara lisan, hati, dan pikiran manunggal. Tidak fasik, munafik, berlainan lisan dan hati. Prinsipnya jujur dan benar.
Puasa adalah laku nrima (menerima dengan penuh kerelaan). Segala sesuatu yang menjadi sebab munculnya keinginan tidak menggoyahkan mental dan moral, serta keyakinannya.
Zakat adalah laku utama, terutama kesabaran dalam hal keinginan yang muncul dari mata, atau kepuasan pribadi. Dengan demikian, apa yang ada dalam dirinya siap “hilang” untuk kepentingan kemanusiaan dan masyarakat.
Shalat adalah olah batin, meredam segenap pancaindera, daya rohaninya selalu menghadap Allah. Segala aktivitasnya hanya berorientasi pada tekad lillahai ta’ala, sebagai aplikasi dalam menempuh kodrat hidup.
Dan akhirnya adalah Haji, yang hakikatnya terletak pada penyesalan serta menepati janji, baik janji Ilahiyah (untuk manunggal) dan janji kemanusiaan (mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan semesta, sebagai khalifatullah, wujud nyata wakil Allah; sebagai “Allah” yang hadir langsung dibumi).
Sementara aplikasi Rukun Iman dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut.
Keimanan kepada allah adalah menepati jalan hidup jasad fisik sebagai kodrat Pribadi, dan merasa bahwa kehadiran manusia didunia ini tidak lain menjadi sifat Allah yang sejati. Manusia sempurna adalah pengejawantahan Allah di dunia (khalifatullah). Oleh karenanya harus selalu menjaga kesucian jasad, batin suci, bersih, dan selalu terjaga dari nafsu. Dan segala perilaku selalu berarah pada keutamaan.
Keimanan kepada malaikat adalah penjagaan atas pengelihatan, pembicaraan, perasaan, pengrasa bau, pendengaran dan segala panca indera. Jadi manusia harus hati-hati dalam melakukan segala bentuk aktivitas, agar tidak menyimpang dari kebenaran dan kemanfaatan.
Malaikat Jibril adalah symbol dari kalam (pembicaraan yang benar); Mikail pada indera pembau; Israfil pada indera penglihatan; Izrailpada pendengaran dan perasaan; Haruman pada nyawa; Munkar dan Nakir pada nafsu; Kiraman dan Katibin pada akal-budi. Dengan menjaga seluruh aspek itulah seseorang baru bisa dikatakan beriman kepada malaikat Allah.
Kepercayaan kepada Rasul dan Nabi (utusan) sebenarnya adalah menerapkan ketajaman perasaan (rahsa) yang selalu diasah. Kuncinya adalah mengendalikan perasaan dan mengheningkan cipta, sehingga dapat connect (menyambung) dan manunggal dengan Allah. Itulah hakikat keimanan kepada utusan Allah. Ini berhubungan erat dengan keimanan kepada Kitabullah, yaitu memahami dan menjaga keadaan nyawa, awas dan waspada dalam perjalanan hidup, selalu ingat dan mengerti asal mula kejadian manusia, batin selalu dzikir kepada Allah, dan diupayakan selalu “berbicara” dengan Allah.
Keimanan kepada nasib baik dan buruk adalah kemampuan menjalani kodrat hidup didunia. Manusia harus mengerti bahwa terwujudnya nafsu berasal dari pengelolaan dan pengolahan budi dan pribadi. Oleh karenanya manusia harus selalu pasrah dan menyesal pada dzat manusia pribadi, akan keberadaannya dialam kematian didunia ini. Segala langkah hidupnya hanya diarahkan pada proses menuju kemanunggalan.
Kemudian keimanan kepada hari akhir, pada hakikatnya mengetahui dan mempersiapkan diri untuk titis pati (wafat dengan husnul khatimah). Kematian sebenarnya berdasarkan pada kesiapan dan kesediaan dzat manusia pribadi. Dalam hal ini, tekad terhadap kenyataan kemanunggalan menjadi kunci bagi pengetahuan dan pengalaman kematian, yang dengan kematian itulah, gerbang kehidupan abadi-sejati, dan segala kasampurnan kehidupan diraih. Uninong, aning, unong. Manusia yang telah mencapai kesatuan dengan Tuhan, berada dalam kebahagiaan hidup sejati yang abadi, tidak akan mengalami kerusakan lagi.
Dari berbagai hal yang telah dikemukakan dalam buku ini, nampak bahwa ajaran Manunggaling Kawula-Gusti bukan semata ajaran mistik. Terbukti dari aplikasi ajaran tersebut, baik oleh Syekh Siti Jenar sendiri, ataupun oleh murid dan pengikutnya, mereka telah mampu menjadi manusia-manusia yang shalih dalam hal spiritualitas religius, bermanfaat secara social, menjadi motor bagi peradaban pada zamannya, memiliki etos kerja yang tinggi serta produktif, serta aktif pula dalam gerakan kemanusiaan melawan segala bentuk kedzaliman.
Syahadat memiliki substansi watak temen (bersungguh-sungguh, konsisten, disiplin, beretos tinggi). Ukuran utamanya adalah pada pembicaraannya, yaitu nuhoni ( selalu sesuai, benar, jujur, tidak pernah menyimpang) dalam hal pembicaraannya. Itulah yang disebut tetapnya syahadat. Antara lisan, hati, dan pikiran manunggal. Tidak fasik, munafik, berlainan lisan dan hati. Prinsipnya jujur dan benar.
Puasa adalah laku nrima (menerima dengan penuh kerelaan). Segala sesuatu yang menjadi sebab munculnya keinginan tidak menggoyahkan mental dan moral, serta keyakinannya.
Zakat adalah laku utama, terutama kesabaran dalam hal keinginan yang muncul dari mata, atau kepuasan pribadi. Dengan demikian, apa yang ada dalam dirinya siap “hilang” untuk kepentingan kemanusiaan dan masyarakat.
Shalat adalah olah batin, meredam segenap pancaindera, daya rohaninya selalu menghadap Allah. Segala aktivitasnya hanya berorientasi pada tekad lillahai ta’ala, sebagai aplikasi dalam menempuh kodrat hidup.
Dan akhirnya adalah Haji, yang hakikatnya terletak pada penyesalan serta menepati janji, baik janji Ilahiyah (untuk manunggal) dan janji kemanusiaan (mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan semesta, sebagai khalifatullah, wujud nyata wakil Allah; sebagai “Allah” yang hadir langsung dibumi).
Sementara aplikasi Rukun Iman dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut.
Keimanan kepada allah adalah menepati jalan hidup jasad fisik sebagai kodrat Pribadi, dan merasa bahwa kehadiran manusia didunia ini tidak lain menjadi sifat Allah yang sejati. Manusia sempurna adalah pengejawantahan Allah di dunia (khalifatullah). Oleh karenanya harus selalu menjaga kesucian jasad, batin suci, bersih, dan selalu terjaga dari nafsu. Dan segala perilaku selalu berarah pada keutamaan.
Keimanan kepada malaikat adalah penjagaan atas pengelihatan, pembicaraan, perasaan, pengrasa bau, pendengaran dan segala panca indera. Jadi manusia harus hati-hati dalam melakukan segala bentuk aktivitas, agar tidak menyimpang dari kebenaran dan kemanfaatan.
Malaikat Jibril adalah symbol dari kalam (pembicaraan yang benar); Mikail pada indera pembau; Israfil pada indera penglihatan; Izrailpada pendengaran dan perasaan; Haruman pada nyawa; Munkar dan Nakir pada nafsu; Kiraman dan Katibin pada akal-budi. Dengan menjaga seluruh aspek itulah seseorang baru bisa dikatakan beriman kepada malaikat Allah.
Kepercayaan kepada Rasul dan Nabi (utusan) sebenarnya adalah menerapkan ketajaman perasaan (rahsa) yang selalu diasah. Kuncinya adalah mengendalikan perasaan dan mengheningkan cipta, sehingga dapat connect (menyambung) dan manunggal dengan Allah. Itulah hakikat keimanan kepada utusan Allah. Ini berhubungan erat dengan keimanan kepada Kitabullah, yaitu memahami dan menjaga keadaan nyawa, awas dan waspada dalam perjalanan hidup, selalu ingat dan mengerti asal mula kejadian manusia, batin selalu dzikir kepada Allah, dan diupayakan selalu “berbicara” dengan Allah.
Keimanan kepada nasib baik dan buruk adalah kemampuan menjalani kodrat hidup didunia. Manusia harus mengerti bahwa terwujudnya nafsu berasal dari pengelolaan dan pengolahan budi dan pribadi. Oleh karenanya manusia harus selalu pasrah dan menyesal pada dzat manusia pribadi, akan keberadaannya dialam kematian didunia ini. Segala langkah hidupnya hanya diarahkan pada proses menuju kemanunggalan.
Kemudian keimanan kepada hari akhir, pada hakikatnya mengetahui dan mempersiapkan diri untuk titis pati (wafat dengan husnul khatimah). Kematian sebenarnya berdasarkan pada kesiapan dan kesediaan dzat manusia pribadi. Dalam hal ini, tekad terhadap kenyataan kemanunggalan menjadi kunci bagi pengetahuan dan pengalaman kematian, yang dengan kematian itulah, gerbang kehidupan abadi-sejati, dan segala kasampurnan kehidupan diraih. Uninong, aning, unong. Manusia yang telah mencapai kesatuan dengan Tuhan, berada dalam kebahagiaan hidup sejati yang abadi, tidak akan mengalami kerusakan lagi.
Dari berbagai hal yang telah dikemukakan dalam buku ini, nampak bahwa ajaran Manunggaling Kawula-Gusti bukan semata ajaran mistik. Terbukti dari aplikasi ajaran tersebut, baik oleh Syekh Siti Jenar sendiri, ataupun oleh murid dan pengikutnya, mereka telah mampu menjadi manusia-manusia yang shalih dalam hal spiritualitas religius, bermanfaat secara social, menjadi motor bagi peradaban pada zamannya, memiliki etos kerja yang tinggi serta produktif, serta aktif pula dalam gerakan kemanusiaan melawan segala bentuk kedzaliman.
Sering kita
membaca dalam berbagai analisis mengenai Syekh Siti Jenar, bahwa wali Tanah
Jawa ini, hanyalah merepresentasikan ajaran Manshur al-Hallaj dari Baghdad. Bahkan banyak
analisis yang menyebutkan bahwa sejarah Syekh Siti Jenar tidak lain cuplikan
kisah al-Hallaj yang diberi warna Islam-Jawa. Jelas analisis ini perlu
diluruskan.
Memang ada sedikit kesamaan antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sebagaimana disebutkan sendiri oleh Syekh Siti Jenar bahwa tarekatnya,yaitu al-Akmaliyah, Substansi ajarannya pernah diajarkan secara terbuka oleh Al-Hallaj dalam bentuk tarekat al-Anfusiyah. Akan tetapi kesamaan ajaran ini sebatas pada kesamaan jenis ajaran wujudiyahnya. Sama halnya substansi ajaran dengan al-Syuhrawardi al-Maqtul, ‘Aynul Quddat al-Hamadani, Ibnu ‘Arabi, al-Jilli, bahkan dengan Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Sumatrani. Dalam beberapa hal juga terdapat substansi Karkhi, Syekh ‘Abdul Qadir al-Jaylani, serta Junaid al-Baghdadi. Tentu saja kalau kesamaan ajaran dijadikan dasar duplikasi peristiwa bahwa keduanya sama sama dibunuh, dan dituduh melawan pemerintah yang berkuasa, disamping factor tuduhan ajaran yang sesat. Bukan hanya al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar yang mengalami peristiwa itu, toh Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani juga dibunuh, dan dituduh terlibat persekongkolan politik, serta dituduh ajarannya sesat. Sementara dari berbagai fakta sejarah dan data kepustakaan jelas membuktikan bahwa mereka adalah manusia sejarah yang pernah hadir dalam kurun waktu dan tempat yang berbeda. Adapun nasib Hamzah Fansuri, Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani, Abu Yazid al-Bushtami dan beberapa sufi wujudiyah yang lain, memiliki nasib duniawi “yang agak lebih baik”, karena tidak dijatuhi vonis hukuman mati, karena memang tidak sedang terjadi pertentangan politik yang sengit.
Dalam hal kesamaan nasib tragis antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, juga terdapat perbedaan dalam sebabnya. Keduanya sama-sama dibunuh karena alasan politis. Bedanya, Syekh Siti Jenar lebih mendekati pada pertimbangan dasar demi kepentingan kerajaan (dalam hal ini Kesultanan Demak), sementara al-Hallaj juga sangat dekat dengan penguasa.
Terdapat banyak hal yang khusus pada Syekh Siti Jenar. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti, bukan semata-mata bentuk kefana’an dan juga bukan semata-mata ittihad, yang lebih bersifat pasif, sebab keaktifan hanya ada pada sisi lahutiyah-nya (unsure ke-Tuhanan), sementara unsur nasutiyah pasif sebagai yang ketempatan. Sedangkan dalam Manunggaling Kawula Gusti sama-sama aktif antara kawulan dengan Gustinya. Jadi konsep “raji’un” (kembalinya manusia kepada Allah) bersifat final dan total. Dan secara terbuka dengan analisis yang tajam, berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, atsar sahabat, pengalaman para auliya’ terdahulu, serta pengalaman Pribadinya. Pengalaman dalam moment Manunggaling Kawula Gusti dalam ajaran Syekh Siti Jenar betul-betul menjadi bukti nyata bagi adanya al-halawat al-iman (lezat-manis-nya rasa buah keimanan), sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Muhammad.
Dalam hal masalah ajaran inilah, para ahli sepakat, bahwa dalam kesamaan ajaran antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar sangat jarang dijumpai. Termasuk Zoetmulder pun memiliki kesimpulan bahwa dalam ajaran Syekh Siti Jenar tidak terdapat bekas-bekas dari ajaran otentik al-Hallaj. Tentu saja kesimpulan ini tidak sepenuhnya benar, sebab dalam hal dasar mistik, yakni tauhid al-wujud, memiliki fondasi spiritual yang sama.
Hanya saja focus al-Hallaj hanya pada aktivitas mistik atau kesufiannya (termasuk program penyebaran ajarannya yang sama-sama miyak warana sebagaimana Syekh Siti Jenar ). Sementara Syekh Siti Jenar, disamping aktivitas kesufian, ia juga sangat menaruh perhatian pada pendidikan keislaman yang utuh, sehingga ia merasa perlu membuat dua “pesantren”, yang satu di Giri Amparan Jati sebagai pusat pengajaran dalam ilmu-ilmu pengetahuan Islam, sedang yang satunya lagi Paguron Lemah Abang (juga disebut dengan Krendhasawa) sebagai pusat pengajaran tasawuf Manunggaling Kawula Gusti. Paguron Lemah Abang ini kemudian diperluas melalui cabang-cabang Paguron dan Pedukuhan Lemah Abang diberbagai daerah se-Jawa.
Syekh Siti Jenar juga sangat dikenal disamping keterbenamaannya dalam kecintaan dan kemanunggalan kepada Ilahi sebagai seseorang yang mandiri, menjamin kebebasan akal dan ilmu, memiliki solidaritas tinggi terhadap agama dan kepercayaan lain, berjiwa inklusif dalam keagamaan dan spiritualitas, dan sebagai motor penggerak bagi kesadaran social, budaya, dan politik bagi masyarakat. Syekh Siti Jenar mempelopori gerakan masyarakat untuk bangkit dengan segenap hak-haknya sebagai manusia, serta bangkit daya spiritualnya, yang kemudian diabdikan bagi kepentingan kemanusiaan dan semesta, dalam rangka mengejawantahkan dirinya sebagai khalifatullah, tangan kanan Allah yang menyejarah di bumi.
Maka wajar jika dikemudian hari, Syekh Siti Jenar menjadi wali yang paling digemari oleh rakyat, yang sampai hari ini, riwayatnya serta ajaran – ajarannya masih tetap hidup ditengah masyrakat Islam (khususnya Islam-Jawa di Indonesia). Dan yang terkesan istimewa adalah, bahwa studi mistik jawa baru dianggap tuntas jika sudah menyentuh ajaran Syekh Siti Jenar. Karena memang puncak spiritualitas Islam-Jawa berada pada ajaran Syekh Siti Jenar.
Memang ada sedikit kesamaan antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Sebagaimana disebutkan sendiri oleh Syekh Siti Jenar bahwa tarekatnya,yaitu al-Akmaliyah, Substansi ajarannya pernah diajarkan secara terbuka oleh Al-Hallaj dalam bentuk tarekat al-Anfusiyah. Akan tetapi kesamaan ajaran ini sebatas pada kesamaan jenis ajaran wujudiyahnya. Sama halnya substansi ajaran dengan al-Syuhrawardi al-Maqtul, ‘Aynul Quddat al-Hamadani, Ibnu ‘Arabi, al-Jilli, bahkan dengan Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Sumatrani. Dalam beberapa hal juga terdapat substansi Karkhi, Syekh ‘Abdul Qadir al-Jaylani, serta Junaid al-Baghdadi. Tentu saja kalau kesamaan ajaran dijadikan dasar duplikasi peristiwa bahwa keduanya sama sama dibunuh, dan dituduh melawan pemerintah yang berkuasa, disamping factor tuduhan ajaran yang sesat. Bukan hanya al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar yang mengalami peristiwa itu, toh Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani juga dibunuh, dan dituduh terlibat persekongkolan politik, serta dituduh ajarannya sesat. Sementara dari berbagai fakta sejarah dan data kepustakaan jelas membuktikan bahwa mereka adalah manusia sejarah yang pernah hadir dalam kurun waktu dan tempat yang berbeda. Adapun nasib Hamzah Fansuri, Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani, Abu Yazid al-Bushtami dan beberapa sufi wujudiyah yang lain, memiliki nasib duniawi “yang agak lebih baik”, karena tidak dijatuhi vonis hukuman mati, karena memang tidak sedang terjadi pertentangan politik yang sengit.
Dalam hal kesamaan nasib tragis antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, juga terdapat perbedaan dalam sebabnya. Keduanya sama-sama dibunuh karena alasan politis. Bedanya, Syekh Siti Jenar lebih mendekati pada pertimbangan dasar demi kepentingan kerajaan (dalam hal ini Kesultanan Demak), sementara al-Hallaj juga sangat dekat dengan penguasa.
Terdapat banyak hal yang khusus pada Syekh Siti Jenar. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti, bukan semata-mata bentuk kefana’an dan juga bukan semata-mata ittihad, yang lebih bersifat pasif, sebab keaktifan hanya ada pada sisi lahutiyah-nya (unsure ke-Tuhanan), sementara unsur nasutiyah pasif sebagai yang ketempatan. Sedangkan dalam Manunggaling Kawula Gusti sama-sama aktif antara kawulan dengan Gustinya. Jadi konsep “raji’un” (kembalinya manusia kepada Allah) bersifat final dan total. Dan secara terbuka dengan analisis yang tajam, berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, atsar sahabat, pengalaman para auliya’ terdahulu, serta pengalaman Pribadinya. Pengalaman dalam moment Manunggaling Kawula Gusti dalam ajaran Syekh Siti Jenar betul-betul menjadi bukti nyata bagi adanya al-halawat al-iman (lezat-manis-nya rasa buah keimanan), sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Muhammad.
Dalam hal masalah ajaran inilah, para ahli sepakat, bahwa dalam kesamaan ajaran antara al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar sangat jarang dijumpai. Termasuk Zoetmulder pun memiliki kesimpulan bahwa dalam ajaran Syekh Siti Jenar tidak terdapat bekas-bekas dari ajaran otentik al-Hallaj. Tentu saja kesimpulan ini tidak sepenuhnya benar, sebab dalam hal dasar mistik, yakni tauhid al-wujud, memiliki fondasi spiritual yang sama.
Hanya saja focus al-Hallaj hanya pada aktivitas mistik atau kesufiannya (termasuk program penyebaran ajarannya yang sama-sama miyak warana sebagaimana Syekh Siti Jenar ). Sementara Syekh Siti Jenar, disamping aktivitas kesufian, ia juga sangat menaruh perhatian pada pendidikan keislaman yang utuh, sehingga ia merasa perlu membuat dua “pesantren”, yang satu di Giri Amparan Jati sebagai pusat pengajaran dalam ilmu-ilmu pengetahuan Islam, sedang yang satunya lagi Paguron Lemah Abang (juga disebut dengan Krendhasawa) sebagai pusat pengajaran tasawuf Manunggaling Kawula Gusti. Paguron Lemah Abang ini kemudian diperluas melalui cabang-cabang Paguron dan Pedukuhan Lemah Abang diberbagai daerah se-Jawa.
Syekh Siti Jenar juga sangat dikenal disamping keterbenamaannya dalam kecintaan dan kemanunggalan kepada Ilahi sebagai seseorang yang mandiri, menjamin kebebasan akal dan ilmu, memiliki solidaritas tinggi terhadap agama dan kepercayaan lain, berjiwa inklusif dalam keagamaan dan spiritualitas, dan sebagai motor penggerak bagi kesadaran social, budaya, dan politik bagi masyarakat. Syekh Siti Jenar mempelopori gerakan masyarakat untuk bangkit dengan segenap hak-haknya sebagai manusia, serta bangkit daya spiritualnya, yang kemudian diabdikan bagi kepentingan kemanusiaan dan semesta, dalam rangka mengejawantahkan dirinya sebagai khalifatullah, tangan kanan Allah yang menyejarah di bumi.
Maka wajar jika dikemudian hari, Syekh Siti Jenar menjadi wali yang paling digemari oleh rakyat, yang sampai hari ini, riwayatnya serta ajaran – ajarannya masih tetap hidup ditengah masyrakat Islam (khususnya Islam-Jawa di Indonesia). Dan yang terkesan istimewa adalah, bahwa studi mistik jawa baru dianggap tuntas jika sudah menyentuh ajaran Syekh Siti Jenar. Karena memang puncak spiritualitas Islam-Jawa berada pada ajaran Syekh Siti Jenar.
Jadi benarlah bahwa Syekh Siti Jenar merupakan guru mistik yang brilian. Tokoh mistik sejati dan wali yang kontekstual. Ia menyampaikan ajaran Islam secara empiric, realitas, dan mampu menggugah bangkitnya kesadaran Pribadi, mengoptimalkan seluruh daya hidup, untuk menjalani kodrat didunia secara tuntas, sehingga ketika mati tinggal menuju kemanunggalan dengan Gusti, tanpa melalui lintasan barzakh, mahsyar, neraka dan surga.
Kejeniusannya juga dibuktikan melalui ajaran-ajarannya yang dituangkan dalam beberapa karya tulis, diantaranya yang disebutkan langsung oleh Syekh Siti Jenar adalah Kitab Balai Mubarak, Talmisan, dana Musakhaf. Sayangnya warisannya dalam bentuk karya tulis sampai saat ini belum berhasil ditemukan. Ini berhubungan dengan larangan atas ajaran-ajarannya sejadk abad ke-16, yaitu sejak dia dijatuhi hukuman mati, sehingga tampatknya kitab-kitab tersebut ikut dimusnahkan.
Tampaknya , memang melalui Syekh Siti Jenar, titik kulminasi mistik Jawa, sekaligus titik kulminasi spiritualitas Islam (tasawuf) telah terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
diantara malam aku sujut bersimpu malu meratapi segala kelemahan dan kekurangnku dan segala dosa yag ku perbuat